Kebenaran menurut saya merupakan suatu kajian yang sangat sulit dan berat untuk dikaji. mengapa demikian?, bagaimana tidak menjadi sesuatu hal yang tidak berat jikalau setiap orang merasa dirinyalah yang paling benar. memang kita tahu bahwasanya kebenaran yang hakiki hanyalah milik tuhan semesta alam. Lantas bagaimana nilai kebenaran yang dinilai sendiri oleh kita sebagai umat manusia yang sangat terbatas? apakah sudah benar?.
Saya teringat saat masih berada di bangku kuliah semester 1, mata kuliah Filsafat Ilmu dan Logika membuat otak saya seakan mau pecah. Logika yang dimainkan seakan tak sanggup saya aplikasikan, sangat berbenturan sekali dengan apa yang saya yakini sebelumnya.
Saat itu kami sedang membicarakan soal kebenaran.
Ternyata setiap manusia memiliki kebenaran yang diyakininya adalah suatu hal yang benar. Kebenaran tersebut saya artikan sebagai kebenaran yang sifatnya subjektif, yaitu kebenaran yang dilandaskan pada apa yang diyakini dan berlandaskan pada seberapa besar wawasan kita. Sayapun mulai mengandai-andai bagaimana seandainya kalau semua manusia di bumi mempunyai kebenaran yang sifatnya subjektif saja tanpa ada kebenaran objektif?, tentunya akan kacau balau, nilai dan norma tak akan berguna lagi. Dari sinilah kita mulai memberanikan bertanya pada diri kita "apakah yang aku anggap benar memang benar-benar BENAR?".
Saya teringat dan selalu ingat pada kata "be yourself" atau "jadilah diri sendiri". Terngiang lagi dalam fikiran saya sebuah pertanyaan "benarkah jati diri saya saat ini?", karena jangan-jangan diri kita sesungguhnya awalnya adalah jahat. Semisal ada seseorang yang sejak kecil sudah menjadi maling, dan dia berniat untuk bertobat, setiap hari dia berusaha untuk beribadah dan menahan nafsu jahatnya untuk mencuri. Namun suatu hari temannya sesama maling mengatakan "sudahlah,,,kau dari awal sudah menjadi maling,,tak perlu kau bertobat,,,be yourself bro,,!!", setelah itu maling (yang ingin bertobat) tersebut kembali menjadi maling. Dari cerita tersebut layakkah "be yourself diterapkan disetiap lini kepribadian seseorang?", ternyata "TIDAK". Memang tak akan menjadi masalah kalau masalahnya terbalik, misalkan seorang kiai yang ingin menjadi maling dan dinasehati dengan "be yourself" lalu kembali menjadi kiai lagi. Tentunya hal ini tak akan menimbulkan sebuah problem, karena “be yourself” yang digunakan memberikan dampak positif. Namun pernahkah kita memikirkan fungsi laten dari kata “be yourself” tersebut?. Padahal zaman sekarang ini sangat sulit sekali ditemukan orang-orang yang berjiwa besar dan mulia. Kebanyakan dari kita hanya mementingkan ego. Lebih memikirkan hak daripada kewajiban. Lebih suka menerima daripada memberi, lebih suka menuntut orang untuk mengerti diri kita tanpa mau mengerti orang lain. Anda tidak percaya?, apakah anda tidak percaya bahwa diri anda, diri kita semua, ternyata egois?, padahal perasaan anda yang tidak percaya itulah sebenarnya ego diri anda, penilaian subjektif anda, karena anda mengukurnya dari sudut diri anda sendiri, mengelak saat dituduh sebagai manusia yang egois. Apa itu tidak cukup?. Sayapun merupakan manusia yang egois pula saat menulis tulisan ini. Membingungkan bukan??
Lantas pertanyaannya apakah ego diri harus ditumpas dari diri kita?, Tidak juga. Kita juga harus mempunyai standar penilaian sendiri. Bayangkan saja kalau semua orang tidak bisa menilai sesuatu dari sudut subjektifitas, pastinya akan bertambah kacau.
Setiap orang mempunyai standar masing-masing dalam menilai sesuatu, penilaian tersebut mengacu pada subjektifitas sang penilai. Namun saya ingatkan lagi, apakah standar penilaian tersebut baik?. Oleh karena itulah kita harus dituntut untuk mempunyai standar penilaian yang tinggi, tidak menyimpang dari nilai dan norma agama dan budaya.
Dimanakah kita dapat mengasah standar penilaian kita?, jawabannya adalah AGAMA. Mengapa saya katakan agama? Padahal saya sendiri bukanlah seorang yang sangat taat agama, bahkan ilmu agama saya sangatlah dangkal, namun mengapa saya memilih agama sebagai patokan untuk memiliki standar penilaian mulia terhadap orang lain?. Jawabannya adalah “apakah ada nilai dan norma yang lebih mulia dari agama?” saya yakin tidak ada. Jawaban saya ini bukanlah dari ego / subjektifitas diri saya. Karena saya melihat SEMUA HUKUM YANG DIBUAT TANGAN MANUSIA PASTI TERDAPAT CACAT, dan kalaupun ada hukum yang dibuat oleh manusia yang ternyata sempurna maka saya jamin HUKUM TERSEBUT DIBUAT ATAS DASAR HUKUM AGAMA.
Dalam agama tidak diajarkan penilaian dari sudut subjektifitas manusia, akan tetapi penilaian terhadap suatu perbuatan dari sudut TUHAN YME, dan kita tahu bahwa kebenaran hakiki adalah milik Tuhan. Dalam agama tidak diajarkan untuk berburuk sangka, malah sebaliknya, kita diajarkan untuk berbaik sangka dan saling mengerti dengan sesamanya. Bayangkan saja apabila SELURUH UMAT MANUSIA SALING MENGERTI, SALING TOLERANSI, BERBAIK SANGKA, DAN MEMAAFKAN. Sungguh akan tercipta suatu masyarakat yang MADANI, sebuah masyarakat yang kita dambakan sejak dahulu.
Tapi, realita saat ini tidak demikian. Kita dapat melihat bahwa agama dianggap sesuatu yang dinilai kuno, ketinggalan jaman, katrok, dsbg. Sehingga tak jarang apabila kondisi masyarakat saat ini terlihat seakan jauh dari nilai agama dan kemanusiaan. Padahal nilai-nilai kemanusiaan banyak sekali diajarkan dalam ilmu agama. Memang dalam Pkn juga diajarkan hal tersebut, namun tak sedalam apa yang dibahas dalam ilmu agama terutama yang menyangkut akhlak manusia.
Sungguh banyak sekali kerusuhan yang terjadi dalam negeri ini. Unjuk rasa disana-sini, tawuran di kanan-kiri, pemberontakan di negeri-negeri, korupsi menjadi-jadi, kemiskinan di segala lini. Apakah hal tersebut belum membuktikan bahwa kita saat ini berada dalam krisis moral, krisis ego?.
Banyak sekali idealisme yang ada di sekitar kita, dan tak jarang juga ada banyak yang saling berbenturan. Sehingga timbul pertentangan, konflik, bahkan kerusuhan, menuntut pengakuan dari lawan bahwa dirinyalah yang paling benar. Mereka yang mempunyai ideologi masing-masing merasa bangga menjadi bagian dari ideologi yang mereka yakini, memaksakan kehendak, selalu membela ideologinya, berusaha untuk terus menghidupkannya, dan tak mau tahu, yang penting dirinyalah yang benar, yang lain SALAH. Mungkin perasaan itulah yang melatarbelakangi banyaknya kerusuhan antar kelompok. Apa mungkin “ideologilah” yang menjadi biang keladi dari banyaknya kerusuhan antar kelompok / individu saat ini?. Akan tetapi, apakah mungkin harus kita buang semua ideologi yang ada?, lantas kalau tak ada ideologi bagaimana kita bisa mempunyai pedoman dalam menjalankan hidup?, layaknya seekor kerbau yang hanya menurut pada majikannya saja. Maka jawabannya menurut saya adalah “kembali pada kebenaran yang memang benar-benar BENAR”.
Layakkah kita mempertahankan ideologi kita?, layakkah kita memaksakan ideologi kita pada orang lain? sudah BENARKAH ideologi kita menurut nilai dan norma?. Tentunya hal inilah yang harus kita perhitungkan secara masak-masak. Karena PADA KENYATAANNYA TAK ADA IDEOLOGI YANG SEMPURNA KECUALI IDEOLOGI YANG MEMANG BENAR TURUN LANGSUNG DARI LANGIT.
Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat kurangnya rasa toleransi diantara kita. Kita hanya merasa benar, tanpa harus memikirkan anggapan yang orang lain katakan benar. Padahal apabila kita bisa menempatkan diri kita pada lawan, maka kita akan mengerti mengapa sesuatu yang kita anggap benar terlihat salah dimata lawan. Sehingga timbullah rasa toleransi dalam diri kita.
Marilah kita berpegang teguh pada kebenaran yang hakiki, yaitu kebenaran yang memang turun langsung dari Tuhan Semesta Alam. Kembalilah pada agama. Hilangkan egoisme diri. Banyak-banyaklah introspeksi diri. Banyak-banyaklah toleransi. Jangan suka menyalahkan orang. Jangan suka mengoreksi orang. Koreksilah terlebih dahulu diri kita.
KALAU BUKAN KITA YANG TERLEBIH DAHULU MEMULAI KEBAIKAN, LANTAS SIAPA?
yaaahhh,,,, banyak sekali ketidak sempurnaan dalam jalan fikiran saya (mungkin..)
maklum lah,,, memang saya harus banyak belajar lagi,,,,
Wassalam...