Temukan informasi menarik lainnya di blog ini. Anda akan disuguhi berbagai informasi yang up to date. Selain memuat informasi, anda akan menemukan artikel mengenai fenomena sosial yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Dengan menggunakan bahasa yang komunikatif, semua informasi akan didapatkan dengan mudah. Dengan mencoba mengulas permasalahan dari berbagai sisi, tentunya akan menambah wawasan anda. Selamat Membaca.
Setelah bersabar menunggu, akhirnya Microsoft akan menghentikan dukungannya kepada Windows XP. Sebelumnya Microsoft masih berbaik hati kepada pengguna Windows XP dengan menyediakan beberapa update yang katanya "terakhir kalinya", namun pada akhirnya Microsoft memutuskan untuk tidak lagi menyediakan dan memberi dukungan terhadap sistem operasi yang menurut banyak orang sangat powerfull......
"Akhirnya, industri perfilman semakin meningkat saja. Setelah sekian lama industri film Indonesia mengobral film pembodohan seperti film horror yang dibumbui adegan syur dan semi porno, kini MD Entertainment memberikan angin segar bagi bagi pecita film Indonesia...
Madura begitu sarat akan budayanya
yang keras dan beringas. Sehingga terkadang bagi masyarakat yang belum pernah
bertemu dengan orang Madura akan merasa enggan bahkan sedikit gugup apabila
bertatap muka dan bercakap langsung dengan orang madura. Salah satu budaya yang
paling dikenal dan ditakuti ialah budaya carok. Yaitu sebuah budaya yang
mempertontonkan pertarungan antara dua laki-laki. Budaya carok dilakukan saat
terjadi konflik antara dua belah pihak. Konflik dan pertentangan tersebut
dilatarbelakangi oleh pembelaan atas harga diri dari masing-masing petarung.
Budaya carok sangat identik dengan senjata celurit, karena celurit merupakan
senjata yang digunakan bertarung dalam budaya carok.
Melihat penjelasan tersebut diatas
dapat diketahui bahwasanya budaya carok sengaja mempertontonkan kekerasan.
Sedangkan tindak kekerasan merupakan tindak pidana yang diatur oleh hukum
pidana dalam KUHP pasal 338.
Selain budaya carok, masyarakat
Madura juga identik dengan budaya kerapan sapi. Kerapan sapi merupakan budaya
khas Madura yang mempertontonkan beberapa ekor sapi yang diadu lari. Mungkin
lebih gampangnya bisa disebut dengan pacuan sapi. Kerapan sapi biasanya diikuti
oleh masyarakat Madura di kelas yang tingkat ekonominya berkecukupan. Mengapa
demikian? Karena untuk membeli dan merawat seekor sapi membutuhkan biaya yang
tidak sedikit. Meskipun demikian, pada kenyataannya kerapan sapi sebagian kecil
juga diikuti oleh masyarakat Madura dalam kelas ekonomi yang pas-pasan. Kerapan
sapi merupakan sebuah ajang kompetisi yang bonafit dan dipandang sebagai
sesuatu yang bernilai prestise yang tinggi. Karena barang siapa yang
memenangkan kerapan tersebut maka akan menjadi orang terpandang dan disegani
oleh masyarakat umum.
Kedua budaya tersebut ialah sebuah
ciri khas yang dimiliki oleh masyarakat Madura. Budaya memang merupakan
identitas bagi suatu kelompok masyarakat. Budaya pula yang paling banyak
mempengaruhi penciptaan watak terhadap masyarakat tertentu.
Seiring perkembangan jaman serta
globalisasi yang kian hari tak dapat dibendung, rupanya eksistensi budaya
semakin hari semakin terpuruk disebabkan karenanya. Hal tersebut dapat dilihat
dari kasus “pencurian” dan klaim kebudayaan terhadap bangsa Indonesia oleh
negara lain. Seperti Malaysia yang mengklaim bahwa tradisi Reog merupakan
tradisi asli bangsa Malaysia. Sejak munculnya isu tersebut bangsa Indonesia
mulai sadar akan kalalaiannya dalam memperhatikan dan melestarikan budaya
masyarakat pribumi. Oleh karena itulah sejak adanya kasus tersebut bangsa
Indonesia mulai memperhatikan dan sekuat tenaga mempertahankan eksistensi
kebudayaan masyarakat pribumi.
Pudarnya kebudayaan ternyata tidak
hanya dialami oleh masyarakat Kabupaten Ponorogo. Masyarakat Madura mengalami
hal serupa. Hal tersebut diketahui mengingat generasi muda Madura lebih tergiur
dengan kebudayaan asing yang serba modern. Generasi muda Madura cenderung mulai
jenuh dengan pelajaran budaya Madura yang mereka hadapi di setiap bangku sekolah.
Hal tersebut dapat dibuktikan dengan semakin memudarnya penggunaan bahasa
Madura – terutama bahasa halus – dalam pergaulan sehari-hari. Kebanyakan
generasi Madura lebih bangga menggunakan bahasa “Indonesia gaul” daripada
menggunakan bahasa Madura-nya sendiri. Sehingga tak jarang apabila pemuda
Madura gelagapan saat diajak
berbicara denga bahasa halus. Pembuktian lain juga ditunjukkan dengan mulai
bosannya siswa-siswi Madura mengikuti pelajaran budaya Madura. Kebanyakan
mereka beranggapan bahwa bahasa Madura tidak perlu untuk dipelajari kembali,
karena bahasa tersebut sudah dipakainya setiap hari. Sehingga dapat dilihat
apabila ternyata nilai pelajaran budaya Madura cenderung rendah dengan mata
pelajaran lainnya, seperti matematika, IPS, IPA, dan lainnya. Masih banyak pula
pembuktian akan mulai memudarnya eksistensi budaya Madura di mata generasi muda
Madura, seperti telah dilupakannya lagu daerah Madura, tarian Madura, dan
budaya lainnya seperti seni, hingga struktur susunan rumah khas Madura yaitu taneyan lanjhang.
Melihat arti dari budaya yang berasal
dari kata Buddhayah dari kata
buddhi yang berarti budi atau akal. Makakebudayaan diartikan sebagai hal-hal yang
bersangkutan dengan budi atau akal.E. B. Tylor mendefinisikan kebudayaan adalah komplek yang mencakup
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan lain
kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan manusia sebagai
anggota masyarakat. Sedangkan Selo Soemarjdan dan Soelaeman Soemardi mengartikan kebuyaan sebagai
semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat.
Dari
pengertian budaya tersebut diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa budaya
merupakan sesuatu hal yang patut untuk dipertahankan eksistensinya. Karena
budaya merupakan identitas sebuah masyarakat. Tidak akan disebut masyarakat
Madura apabila tak bisa berbahasa Madura. Dan tidak akan diesbut masyarakat
Jawa apabila tak tahu berbahasa Jawa. Sehingga apabila eksistensi budaya bangsa
Indonesia semakin memudar, maka predikat bangsa kita sebagai bangsa yang mempunyai
masyarakat ter-majemuk dan kaya akan kebudayaan akan kendas begitu saja.
Pelestarian budaya saat ini sudah
banyak mendapat dukungan dan perhatian dari budayawan serta aktifis maupun
akademisi. Banyak seminara serta acara pentas yang berbau seni tradisional
untuk mengangkat budaya bangsa, khususnya budaya Madura. Seperti seminar
kebudayaan yang diselenggarakan oleh kabinet mahasiswa Universitas Trunojoyo
Madura dengan tema “Pariwisata dan Budaya Madura, Seperti Apa?”. Dan yang
baru-baru ini penyelenggaraan pentas seni di pemkasan, yaitu “Festifal Lontar
Pamekasan” yang diselenggarakan pada tanggal 7 Juli 2011.
Berbicara mengenai pelestarian
budaya. Terdapat hal rancu yang terjadi apabila niat akan melestarikan budaya
dibenturkan dengan sistem hukum di Indonesia. Mungkin budaya seperti permainan
tradisonal, nyanyian tradisional, serta makanan tradisional dan lainnya tidak
akan berbenturan dengan sistem hukum Indonesia. Namun bagaimana apabila budaya
carok dan kerapan sapi dibenturkan dengan hukum?, tentunya terdapat crash antar keduanya. Sesuai dengan KUHP
Pasal 338 yang berbunyi “Barangsiapa sengaja merampas nyawa orang lain,
diancam, karena pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”
maka budaya carok merupakan faktor penyebab tumbuhnya kriminalitas. Lalu
demikian pula dengan budaya kerapan sapi akan terjadi crash saat dibenturkan dengan hukum, yaitu KUHP Pasal 302 tentang
penganiayaan terhadap binatang. Lantas bagaimanakah dengan upaya melestarikan
budaya apabila dibenturkan dengan hukum yang berlaku di Indonesia?.
Mungkin saat ini upaya pelestarian
budaya seperti carok tidak begitu intens diberlakukan, karena memang para
budayawan juga mempertimbangkan sisi hukumnya. Budayawan lebih terkonsentrasi
dalam pelestarian budaya lokal yang sifatnya ringan dan berbau seni seperti
acara dan pentas yang telah dijelaskan sebelumnya. Padahal apabila kita melihat
pengertian budaya sebagai “identitas” yang kuat, maka budaya kuat yang
menjadikan masyarakat Madura sebagai masyarakat yang keras dan menakutkan ialah
budaya caroknya. Masyarakat luar Madura cenderung takut untuk melakukan
interaksi dengan massyarakat Madura karena imej
/ pencitraan masyarakat Madura yang keras dan sangar dari desas-desus budaya
caroknya yang menyebar ke seluruh penjuru negeri. Lantas jikalau memang kita
mengartikan budaya sebagai “identitas” maka budaya carok-lah yang dijadikan
prioritas upaya mempertahankan budaya dan kearifan lokal. Akan tetapi hal
tersebut akan kembali pada permasalahan crash
terhadap sistem hukum Indonesia.
Kerapan sapi merupakan budaya yang
menjadi ciri khas masyarakat Madura. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya
bahwa kerapan sapi ialah kegiatan mengadu lari sapi. Lagi-lagi budaya ini
memunculkan crash saat dihadapkan pada peraturan hukum Inonesia dalam pasal 302
mengenai penganiayaan terhadap binatang. Saya simpulkan kerapan sapi termasuk
pada kejahatan pasal 302, karena pada praktiknya kerapan sapi yang dilakukan
cenderung memanipulasi binatang hingga diluar batas keperihewanian. Sapi yang
akan diadu larinya selain diberi jamu penguat stamina juga diberi bayak tusukan
paku di ekor dan pantatnya. Selain tiberi paku, pantat sapi tersebut dilumuri
balsem dan cabai agar efek sakit dan panas yang dirasakan sapi tersebut akan
membuat sapi lari sekencang-kencangnya. Hal tersebut-lah yang membuat saya
menyimpulkan bahwa tindakan tersebut merupakan pelanggaran keperihewanian.
Memang, dalam penegakan hukum di
Indonesia selain menjadikan KUHP pedoman penegakan hukum juga mengindahkan
hukum adat sebagai petimbangan keputusan hukum. Seperti kasus carok hingga
menelan korban lawan. Tersangka pembunuhan dalam tradisi carok dituntut hukuman
mati/seumur hidup akibat perbuatannya, akan tetapi melihat dari hukum adat
daerah tersebut maka hukuman dapat diringankan menjadi hukuman selama 15 tahun
penjara. Memang setiap budaya di daerah tertentu mengikut kepada hukum adat di
daerah tersebut pula, akan tetapi yang menjadi rujukan dan pedoman inti
penegakan hukum tetaplah KUHP yang berlaku secara nasional. Olehkarena itulah
carok tetap menjadi sebuah perbuatan kriminal di mata hukum Indonesia.
Lantas bagaimanakah kita menghadapi
problema demikian?. kita semua dibuat dilema dengan upaya penegakan budaya
dengan pertimbangan hukum Indonesia yang cukup ketat. Lantas apakah budaya yang
menjadi ciri khas masyarakat Madura akan dihapus begitu saja?, lantas apabila
jalan tersebut diambil maka tak akan ada lagi masyarakat Madura.
Penulis melihat bahwa problema
demikian merupakan bentuk dari sebuah perubahan sosial. Seperti yang telah diketahui
bahwa sifat umum masyarakat ialah dinamis, dinamis maksudnya ialah selalu
berubah-ubah seiring perkembangan jaman. Hirschman mengatakan bahwa
kebosanan manusia sebenarnya merupakan penyebab dari perubahan. Perubahan sosial budaya adalah sebuah
gejala berubahnya struktur sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat.
Perubahan sosial budaya merupakan gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam
setiap masyarakat.
Perubahan sosial budaya terjadi karena beberapa faktor. Di antaranya komunikasi; cara dan pola
pikir masyarakat;
faktor internal lain seperti perubahan jumlah penduduk, penemuan baru,
terjadinya konflik
atau revolusi; dan faktor
eksternal seperti bencana alam dan perubahan iklim, peperangan, dan pengaruh kebudayaan masyarakat
lain.
Melihat dari cara dan budaya
masyarakat Madura saat ini tentunya berbeda dengan cara / budaya yang dilakukan
masyarakat Madura tempo dulu. Terdapat suatu perubahan sosial masyarakat Madura
dalam melestarikan tradisi kerapan sapi. Pada awalnya kerapan sapi dan carok
merupakan tradisi budaya Madura yang mengandung makna nilai dan norma yang
positif. Carok melambangkan sebuah keperkasaan, kehormatan, dan harga diri.
Sedangkan kerapan sapi melambangkan kerja sama, persaingan, sportifitas, dan
keakraban serta rasa syukur.
Tradisi carok akan dilaksanakan
apabila terdapat dua orang yang bertikai dan merasa harga dirinya terhina.
Misalkan saja seorang laki-laki yang isterinya digoda oleh lelaki lain, maka
sang suami tersebut akan mengajak carok lelaki yang menggoda isterinya tadi.
Wanita dalam pandangan masyarakat Madura sangatlah mulia dan mempunyai tempat
sebagai lambang kehormatan dan harga diri seorang lelaki, sehingga apabila
wanita/isteri/anak perempuannya terganggu maka hal ersebut akan memunculkan
tradisi carok. Akan tetapi sayangnya saat ini carok hanya digunanakan
ajang sebagai balas dendam dan sebatas
mengadu kekuatan saja.
Selain itu pula budaya kerapan sapi
juga telah mengalami perubahan sosial budaya. Kerapan sapi merupakan lambang
dari kerja sama, persaingan, sportifitas, dan keakraban/solidaritas serta rasa
syukur. Sejarah munculnya kerapan sapi konon karena bentuk rasa syukur petani
atas keberhasilan panennya. Awalnya petani yang membajak sawahnya menggunakan
sapi saling berlomba agar bajakannya cepat selesai dengan memacu sapinya.
Sehingga para petani terbesit untuk melombakan sapinya dalam berlari, sehingga
lahirlah tradisi kerapan sapi. Akan tetapi saat ini sungguh disayangkan karena
pada kenyatannya terdapat perilaku menyimpang dari peserta kerapan sapi. Mereka
cenderung mengekspolitas sapi tanpa rasa keperihewanian dengan cara menyiksanya.
Ironisnya mereka melakukan hal tersebut dilatar belakangi nafsu dan hasrat
untuk menjadi juara, menjadi pemenang tanpa mengindahkan nasib sapinya. Oleh
karena itulah budaya tersebut berbenturan dengan hukum yang berlaku di
Indonesia.
Maka dari itulah rekonstruksi budaya
menjadi cara yang cukup bijak menanggapi masalah tersebut. Apabila menimbang
dari beberapa kasus diatas, memang perlu dilakukan suatu cara yang bertujuan
untuk memperbaiki budaya yang dinilai sudah tidak cocok diterapkan di era jaman
saat ini. Rekonstruksi dinilai cukup baik, karena tujuan rekonstruksi disini
ialah “bagaimana mempertahankan budaya dan kearifan lokal agar tetap eksis dan
survive di tengah peradaban yang maju”. Banyak cara yang bisa dilakukan untuk
memodifikasi budaya kita yang sudah usang dan tak layak dipertontonkan di depan
khalayak umum karena pertimbangan hukum, kemanusiaan, dan lain sebagainya.
Banyak sekali keluhan yang diutarakan oleh HPI (himpunan pramuwisata Indonesia)
saat mendampingi para turis menjelajahi kebudayaan Madura, karena budaya madura
yang paling terkenal ialah kerapan sapi, sedangkan para pemilik sapi tersebut
memperlakukan sapinya melebihi batas keperihewanian. Sehingga para pramuwisata
khawatir akan berdampak traumatis kepada para turis saat menonton kerapan sapi.
Rekonstruksi dan perbaikan budaya ini
merupakan hal yang perlu untuk dilakukan budayawan dan pemerintah daerah. Carok
yang awalnya tidak layak untuk dipertontonkan dapat menjadi layak apabila
diberikan sedikit modifikasi di dalamnya. Budaya carok dapat dipetontonkan
dengan cara menggelar pentas carok yang dikemas dalam sebuah sandiwara wayang
orang. Sehingga dengan adanya pentas carok tersebut selain mempertahankan
budaya Madura juga dapat mempromosikan dan memperkenalkan kebudayaan Madura kepada
turis nasional maupun mancanegara. Apabila carok dapat diperkenalkan kepada
masyrakat luas khususnya generasi muda Madura secara benar dan tepat, maka
kearifan lokal dan esensi murni budaya carok akan terangkat, yaitu budaya carok
adalah sebuah lambang kegagahan dan sebuah pembelaan terhadap harga diri
seorang Madura saat merasa terlecehkan. Jadi asumsi-asumsi buruk yang beredar
seputar tradisi carok kian lama akan hilang berganti pada asumsi positif
mengenai makna carok sebenarnya, dan secara langsung akan mengangkat citra dan imej masyrakat luas terhadap masyarakat
Madura.
Begitu pula dengan budaya kerapan
sapi, perlu diberikan perubahan khusus dalam merekonstruksi budaya kerapan
sapi. Pemerintah daerah dinilai sangat perlu untuk mengubah orientasi pemilik
dan penyelenggara kerapan sapi yang cenderung tidak berkeperihewanian menjadi
sedikit rasional dan dikemas semenarik mungkin. Karena apabila acara kerapan
sapi diikuti dengan cara yang baik dan menarik akan membuat wisatawan tertarik
menikmati kerapan sapi, dan kesan menyiksa hewan akan luntur dengan sendirinya.
Padahal sangat disayangkan apabila kerapan sapi yang seharusnya menunjukkan
sebuah cerminan masyarakat Madura yang berjiwa kerja keras, kerja sama,
bersaing, ketertiban dan sportivitas tercemar oleh perilaku obsesi akan
kemenangan sampai-sampai tidak mengindahkan norma keperihewanan.