Selasa, 03 September 2013

PERGESERAN MAKNA TANAH WARISAN AKIBAT PROGRAM PEMBEBASAN LAHAN BAGI MASYARAKAT DESA SUKOLILO BARAT KECAMATAN LABANG BANGKALAN

Berikut adalah jurnal hasil penelitian (skripsi) saya yang berjudul "PERGESERAN MAKNA TANAH WARISAN AKIBAT PROGRAM PEMBEBASAN LAHAN BAGI MASYARAKAT DESA SUKOLILO BARAT KECAMATAN LABANG BANGKALAN"

Semoga informasi dari penelitian ini dapat menambah pengetahuan pembaca sekalian.
_____________________________________


WAHYU QADARILLAH

Di bawah bimbingan pembimbing utama Arie Wahyu P., S.Pi., M.Sos
Pembimbing kedua Aminah Dewi R., S.Sos., M.Si
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
Abstract
Construction of a bridge linking Surabaya with Madura Island (Suramadu) will automatically bring forth positive and negative impacts to the community and society at large Madura Sukolilo Village West in particular. Construction of this mega project would require a land acquisition program, and the next, industrialization will be traveling after Suramadu stood firm. The process of land acquisition which is the first stage of development and industrialization bridge afterwards.
The land acquisition program seems to be the first trip the process of social change in the village of West Sukolilo visible. Be interesting if it turns out that the land acquisition impact on land prices so quickly make the public view on the ground is changing. Soil that has a strong cultural value to the community Madura will eventually eroded by economic value. While the economic value of these cultural values that lead to soil degradation to society Sukolilo Village West.
This study uses qualitative research, namely by trying to describe and explain the process as well as the impact of the shifting meaning of the land for the village of West Sukolilo.
This study describes in detail and try to explain how the process of shifting ground of meaning that occurs in the midst of society. The meaning and value of cultural heritage lands which initially has a position and the position of very valuable to society now is like just a mere economic commodities. Inherited land which was originally meant trust, confidence, and present a unifying kinship only thing that should be contested, so they are a cause of discord, conflict / dispute, the rise of consumer culture, and the estate no longer be a valuable thing in the cultural sphere.
Keywords: Heritage Land Conflict



PENDAHULUAN
Tanah/lahan merupakan tempat berkumpulnya hampir seluruh aktivitas manusia. Di atas tanah pula manusia mencari nafkah, membangun, bercocok tanam, bertempat tinggal, dan berinteraksi dengan sesamanya. Maka dari itulah tanah merupakan aspek paling terpenting dalam tumpuan aktivitas manusia, di samping sebagai pijakan segala aktivitas manusia tanah juga merupakan aset paling berharga dalam berinvestasi, apa lagi jika tanah tersebut dinilai strategis dan subur, membuat nilai tanah semakin tinggi.
Jika dinilai dari sisi ekonomis, tanah merupakan aset yang berharga, namun jika dinilai dari sisi budaya, makna dari sekapling tanah dapat mempunyai arti banyak. Di samping sebagai faktor produksi yang berguna sebagai sumber nafkah, tanah juga memegang peranan penting sebagai sumber kekuasaan, jaminan keamanan, dan tempat untuk melestarikan dan mengembangkan sistem sosial budaya (Muthmainnah, 1998: 148). Tanah juga dinilai sangat berharga bagi keluarga-keluarga yang menilai tanah bukan hanya dari sisi ekonomis, melainkan dari sisi kehormatan dalam menjaga warisan, amanah, dan peninggalan dari orang tua yang sudah sepantasnya untuk dipertahankan keberadaannya.
Tanah juga sama seperti aset produksi  lainnya, yaitu mempunyai nilai jual yang bergantung pada kualitasnya, seperti letaknya yang strategis atau kualitas produktivitas tanah dalam hasil-hasil pertanian. Harga jual sebidang tanah kita ketahui bergantung kepada letak dan kualitas produktivitas tanah, sedangkan kedua hal ini dapat berubah-ubah sesuai dengan kondisi saat itu juga. Misalnya, sebidang tanah yang dahulunya tidak berharga mahal karena tanahnya tidak produktif akan sangat berharga mahal jika wilayah tersebut akan dijadikan lahan industri, karena hal ini akan membuat para investor berlomba-lomba membeli lahan tanah tersebut, sedangkan keadaan ini akan dimanfaatkan oleh pemilik tanah untuk menjual tanahnya dengan harga tinggi.
Melihat kenyataan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa keadaan tersebut merupakan gejala perubahan orientasi terhadap tanah. Pada awalnya masyarakat tertentu tidak begitu memedulikan keberadaan tanahnya, namun sejak terjadinya perubahan terhadap nilai tanah itu sendiri maka masyarakat tersebut akan mengubah cara pandangnya terhadap tanah. Mereka cenderung akan menjual tanah tersebut dengan maksud untuk memperoleh keuntungan yang besar, bahkan tak jarang yang sebelumnya antar warga/keluarga tidak terdapat persengketaan (perebutan) hak atas tanah namun kini mereka berbondong-bondong untuk bersaing memperoleh hak atas tanah untuk dijual mahal dengan tujuan mendapat keuntungan yang besar.
Tanah bagi orang Madura sangat penting keberadaannya. Tanah, apalagi tanah warisan orang tua, merupakan amanah yang harus dijaga dan dipertahankan dan diteruskan kepada anak cucunya. Tanah sangatlah erat kaitannya dengan budaya masyarakat Madura. Dalam budaya Madura, tanah sangatlah erat kaitannya dengan leluhur, makam, dan kekerabatan yang kuat.
Masyarakat Madura termasuk masyarakat yang sangat menghargai tanah, bahkan di antaranya ada yang rela membela tanahnya dengan segenap nyawanya bahkan di antaranya dengan tradisi carok. Hal ini senada dengan pepatah Jawa lama “Sedumuk bathuk senyari bumi, ditohi pecahing dhadha lan wutahing ludira” yang bermakna seseorang akan membela tanahnya meskipun harus taruhan nyawa.
Sengketa tanah antar anggota keluarga yang terjadi di  Desa Sukolilo Barat cenderung didalangi oleh perasaan dirugikan atas tidak meratanya pembagian uang ganti rugi. Secara kasat mata memang sengketa yang terjadi timbul dari sisi ekonomis, namun untuk menyimpulkan ini semua perlu dilakukan sebuah penelitian untuk mengkaji penyebab perubahan orientasi/pandangan masyarakat terhadap tanah, mengingat arti dan makna tanah bagi orang Madura sangatlah tinggi. Selain sebagai sarana mencari nafkah, tanah lebih jauh lagi bagi orang Madura merupakan sebuah peninggalan/warisan orang tua/nenek moyang yang perlu sekali untuk dijaga keberadaannya.

TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan dari penelitian ini ialah Untuk mengetahui proses pergeseran makna tanah warisan yang diakibatkan oleh program pembebasan lahan di tengah-tengah masyarakat Desa Sukolilo Barat.

KERANGKA TEORI
Teori Perubahan Sosial
Agus Salim, (2002: ix) perubahan sosial adalah proses, meliputi bentuk keseluruhan dari aspek kehidupan masyarakat. Beliau juga mengatakan bahwa perubahan sosial adalah suatu bentuk peradaban umat manusia akibat adanya eskalasi perubahan alam, biologis, fisik yang terjadi sepanjang kehidupan manusia.
Mengingat sifat masyarakat yang dinamis, sangat memungkinkan jika perubahan sosial akan selalu ada dalam masyarakat. Perubahan sosial dalam masyarakat desa yang diakibatkan oleh industrialisasi atau pembangunan infrastruktur rupanya banyak memberi perubahan yang signifikan.
Pola-pola perubahan dalam masyarakat dapat dilihat dari beberapa aspek, seperti perilaku kerja dan hubungan manusia. Hubungan perburuhan dalam industri akan mengubah pola perilaku manusia dalam hubungan kerja yang dibentuknya. Hubungan manusia akan mengalami perubahan, sesuai dengan pergeseran penghargaan manusia terhadap konsep waktu, nilai kerja, masa depan, keluarga, dll
Pola-pola hubungan dari tempat tinggal dan pandangan hidup masyarakat, berpengaruh kepada perhatian masyarakat terhadap kehidupan masa lalu dan harapan mereka di masa depan. Orang modern telah mulai menilai bahwa tradisi nenek moyang ada kalanya dapat ditinggalkan tergantung kepada tingkat kebutuhan yang dirasakan. Dalam mencari tempat tinggal mereka tidak lagi memperhatikan adanya batas-batas tempat leluhur yang berupa makam, bekas tempat bermukim dan tempat beribadah nenek moyangnya, mereka akan mengembangkan diri lebih rasional terutama dalam memilih tempat bermukim bagi keluarganya (Material assistance to clan members). Perhatian yang kuat terhadap pendidikan bagi generasi muda secara terbuka, tidak hanya berpikir untuk hari ini tetapi juga untuk jangka panjang anak-anak keturunannya.
Selain itu, perubahan sosial juga memberi kontribusi perubahan kepada sistem kekeluargaan dan hubungan keluarga. Yakni semakin kuatnya hubungan keluarga inti, dan melemahnya keluarga batih. Hal ini terjadi akibat tarikan kebutuhan ekonomi, menipisnya peluang usaha, serta keterbatasan sumber daya yang dimiliki oleh institusi keluarga modern terutama dibanyak keluarga besar. Selain itu pula, Relasi hubungan orang tua dengan anak mengalami perubahan yang radikal, menyebabkan tanggung jawab, nilai, perilaku ekonomi mengalami pergeseran. Rasa hormat anak kepada orang tua, pola asuh orang tua mengalami perubahan yang cukup mendasar, karena tidak lagi tergantung kepada nilai-nilai hubungan aspectasi tetapi kepada aspek kehidupan material. Akibat sosio-psikologi dari perubahan dalam pola hubungan kekeluargaan, dengan semakin ter-alinasi dan terisolasinya keluarga inti. Keluarga ‘dipenjarakan’ oleh norma konsumsi, dan nilai material, yang memiliki relevansi kuat dalam kehidupan yang dihadapi.

Teori Konflik
Kehidupan masyarakat tidak akan luput dari konflik, seringkali dalam tubuh masyarakat konflik tak dapat terelakkan. Hal ini dikarenakan banyak sekali individu-individu atau lembaga-lembaga masyarakat antara yang satu dengan lainnya memiliki kepentingan yang berbeda, sehingga perbedaan kepentingan ini akan menyebabkan benturan politik yang mengarah kepada persaingan. Hal ini senada dengan Simmel dalam Soekanto (2002: 69), bahwa konflik tidak terelakkan dalam masyarakat. Masyarakat dipandangnya sebagai struktur sosial yang mencakup proses-proses asosiatif dan disosiatif yang hanya dapat dibedakan secara analitis.”
Pada awal mula munculnya teori konflik dialektis, pandangan-pandangan teori struktural fungsional mendapat keraguan dari para sosiolog hingga pada akhirnya menciptakan alternatif lain dari teori fungsional atas dasar asumsi-asumsi (Soekanto, 2002: 68). Asumsi tersebut mengatakan bahwa, walaupun hubungan-hubungan sosial memperlihatkan adanya ciri-ciri suatu sistem, akan tetapi dalam hubungan-hubungan itu terdapat benih-benih konflik kepentingan. Fakta itu menunjukkan bahwa suatu sistem memungkinkan menimbulkan konflik. Dengan demikian, maka konflik merupakan suatu gejala yang ada dalam setiap sistem sosial.
Konflik demikian cenderung terwujud dalam opsisi bipoler dari kepentingan-kepentingan. Konflik sangat mungkin terjadi terhadap distribusi sumber-sumber daya yang terbatas dan kekuasaan. Konflik merupakan suatu sumber terjadinya perubahan pada sistem-sistem sosial.
Distribusi kekuasaan dan wewenang secara tidak merata tanpa kecuali menjadi faktor yang menentukan konflik sosial secara sistematis (Ritzer, 2003: 26). Hal ini selaras dengan kasus sengketa yang terjadi pada masyarakat desa Sukolilo Barat. Distribusi hasil penjualan tanah yang tidak merata antar anggota keluarga menjadi penyebab munculnya konflik/sengketa tanah antar anggota keluarga.
Menurut Ralph Dahrendorf, Pertentangan dan konflik yang terjadi antara pihak yang berseteru merupakan sebuah keniscayaan. Karena pertentangan tersebut terjadi dalam situasi di mana pihak yang berkuasa berusaha untuk memperoleh keuntungan lebih besar (status quo) dari pihak yang dikuasai, sehingga hal tersebut membuat pihak yang dikuasai (yang merasa dirugikan) akan berusaha untuk melakukan perlawanan atas ketertindasannya.
Hal ini menyiratkan bahwa di setiap asosiasi pasti terdapat konflik-konflik kepentingan. Orang-orang atau kelompok yang berada di dalam posisi yang dominan dan menguntungkan (superordinat) akan selalu mempertahankan status quo selama mungkin, sedangkan bagi individu-individu atau kelompok yang berada di dalam posisi subordinat (kurang beruntung) akan mengusahakan perubahan yang positif bagi posisinya. Dalam usaha keduanya untuk mempertahankan status quo (bagi superordinat) dan untuk mengusahakan perubahan (bagi subordinat) sering kali terbentur oleh kepentingan yang berlawanan, sehingga tak jarang jika keduanya akan terlibat konflik.
Seorang tokoh sosiologi, Ralph Dahrendorf menyimpulkan bahwa terdapat dua golongan/kelompok yang terlibat konflik. Kelompok pertama ialah kelompok semu (quasi group) dan kelompok kedua ialah kelompok kepentingan (interest group). Kelompok semu ialah kumpulan dari para pemegang kekuasaan/jabatan yang mana kelompok semu ini merupakan bagian kecil dari kelompok kepentingan. Artinya, kelompok semu merupakan bagian dari kelompok kepentingan yang beruntung mendapat kekuasaan/jabatan. Sedangkan kelompok kepentingan merupakan kelompok yang tersisa, artinya kelompok ini merupakan kumpulan dari anggota yang tidak mendapat kekuasaan/jabatan seperti kelompok semu. Misalkan, dalam satu organisasi yang beranggotakan ratusan orang, hanya beberapa orang saja yang mendapat jabatan/kekuasaan yang menguntungkan di pemerintahan (misalnya), kelompok ini merupakan kelompok semu. Sedangkan anggota yang tidak mendapat kekuasaan/jabatan yang menguntungkan merupakan kelompok kepentingan. Bagi Dahrendorf, kelompok kepentinganlah yang menjadi sumber utama munculnya konflik karena distribusi kekuasaan, wewenang, bahkan keuntungan yang tidak merata.
Jika kita menganalogikan pemikiran dari tokoh sosiolog Ralph Dahrendorf dengan kasus yang terjadi di desa Sukolilo Barat, maka kelompok kepentingan ialah seluruh anggota keluarga, sedangkan beberapa anggota keluarga (tertua) yang memiliki posisi yang tinggi merupakan kelompok semu. Anggota keluarga tertua yang mempunyai kekuasaan lebih daripada lainnya mencoba untuk menjual semua tanah warisan keluarga untuk keuntungannya, sedangkan hal ini disadari merupakan kondisi yang merugikan bagi kelompok kepentingan sehingga kelompok kepentingan melakukan aksi protes kepada kelompok semu atas tidak meratanya distribusi kekuasaan dan keuntungan, maka persengketaan tanah pun terjadi antar anggota keluarga.

METODE PENELITIAN
            Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologis. Penelitian ini dilakukan dengan maksud untuk mengetahui bagaimana proses pergeseran makna tanah warisan akibat program pembebasan lahan bagi masyarakat Desa Sukolilo Barat.
            Penelitian ini didasarkan pada dua kelompok sumber data, yakni data sekunder dan data primer. Sumber data primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data (Sugiyono, 2008: 225). Sumber data primer didapatkan dari tokoh masyarakat, yakni Bapak H. Sanusi Ahmad dan Pemerintah Desa yakni Bapak Nasir Rifa’ie.
            Sumber data sekunder merupakan data pelengkap disamping data primer. Informan data sekunder ialah masyarakat Desa Sukolilo Barat yang diwakili oleh Sdr. Imron dan Sdr. Hadori. Karena keduanya merupakan warga yang paling merasakan dampak dari pembebasan lahan.

Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan wawancara, yang akan dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara. Pedoman wawancara digunakan untuk mengingatkan interviewer mengenai aspek-aspek apa yang harus dibahas.
Disamping wawancara mendalam, untuk mendapatkan data penunjang (sekunder) penelitian ini juga melakukan metode observasi. Observasi juga dibutuhkan dengan tujuan untuk mengetahui situasi, kondisi, dan kejadian sebenarnya, agar data wawancara dapat terjamin keabsahannya jika dibandingkan dengan kondisi sebenarnya dalam proses observasi.

Metode Analisis Data
Data yang terkumpul (apapun sumber, metode dan alat pengumpulannya) selanjutnya perlu diolah dan dianalisis untuk menjawab masalah penelitian. Adapun analisis yang dipakai ialah mengorganisasikan data, mengelompokkan berdasarkan kategori, mencari alternatif penjelasan data, serta menulis hasil penelitian.

Metode Pemeriksaan Keabsahan Data
            Untuk memeriksa keabsahan data, penelitian ini menggunakan triangulasi. Adapun beberapa triangulasi yang dipakai ialah triangulasi pengamat, triangulasi metode, dan triangulasi sumber

HASIL PENELITIAN
Proses penelitian pergeseran makna tanah akibat program pembebasan tanah bagi masyarakat Desa Sukolilo barat telah melibatkan dua informan kunci dan dua informan tambahan. Keterangan dari kedua informan tersebut telah menghasilkan temuan-temuan mengenai bagaimana proses bergesernya makna tanah yang diakibatkan oleh program pembebasan lahan bagi Masyarakat Desa Sukolilo Barat.

Makna dan Nilai Tanah Bagi Masyarakat Madura
Kondisi tanah di Madura jika dilihat dari segi ekonomis, pada umumnya kurang produktif, sehingga kurang menguntungkan untuk diolah. Selain sarana irigasi masih minim, tanah di Madura termasuk jenis tanah kapur bercampur lempung yang menyerap air (higroskopis), serupa dengan tanah perbukitan kapur di sepanjang pantai utara pulau Jawa yang secara geologis masih satu deretan (De Jonge, dalam Subaharianto 2004: 18).
Kondisi tanah di pulau Madura memang tidak subur dan tidak produktif, namun meskipun demikian masyarakat Madura memandang tanah sebagai aset dan amanah orang tua yang harus dijaga. Bahkan orang Madura rela bertaruh nyawa demi mempertahankan tanahnya. Hal ini seperti ini pepatah jawa yang mengatakan “Sedumuk bathuk senyari bumi, ditohi pecahing dhadha lan wutahing ludira” yang bermakna seseorang akan membela tanahnya meskipun harus taruhan nyawa.
Jika melihat studi dan penelitian yang dilakukan mengenai nilai tanah bagi orang madura, Subaharianto dkk (2004:69-84) mengelompokkan fungsi tanah menjadi tiga kategori.
Pertama, yaitu kaitan tanah dengan leluhur. Tanah bagi orang madura mempunyai keterikatan yang erat dengan leluhurnya, karena tanah tersebut merupakan warisan/titipan/amanah yang diberikan orang tua kepada anak-anaknya. Sehingga anak-anaknya berkewajiban untuk menjaga tanah warisan tersebut dan diwariskan kepada anak cucunya di kemudian hari.
Kedua, kaitan tanah dengan makam. Hubungan antara tanah dengan makam bagi masyarakat Madura sangat erat kaitannya. Dalam kaitan antara tanah dengan leluhur sebelumnya disebutkan bahwa leluhur akan terus mengawasi keluarga serta tanah yang menjadi warisannya. Maka dalam kaitannya antara tanah dengan makam bahwa tanah keluarga dalam beberapa keluarga tertentu dijadikan makam keluarga sendiri, hal ini dilakukan tentunya karena alasan tertentu yaitu agar leluhur yang telah meninggal tersebut dapat kembali menjadi tanah dan menyatu dengan tanah yang ditinggalkannya kepada anak cucunya.
Ketiga, Kaitan tanah dengan kekerabatan. Sistem kekerabatan masyarakat Madura dapat dilihat dari bentuk pola pemukiman keluarga dalam satu bidang tanah yang panjang, masyarakat Madura menyebutnya sebagai taneyan lanjang atau dalam bahasa Indonesia artinya ialah halaman yang panjang. Jadi pola pemukiman taneyan lanjang ini berupa susunan rumah yang berjejer dari barat ke timur yang jumlah rumahnya tergantung pada jumlah anak perempuan dalam keluarga tersebut.
Kekerabatan yang kuat antar anggota keluarga yang berkaitan dengan tanah warisan masyarakat Madura juga diperlihatkan oleh sikap anggota laki-laki yang menerima begitu saja keputusan orang tua yang tidak memberi mereka tanah pekarangan dan rumah, sehingga mereka akan keluar dari keluarga tersebut setelah menikah. Anak laki-laki dalam keluarga tersebut pantang sekali untuk mempeributkan masalah harta berupa warisan tanah. Sikap kompromis mereka diduga disebabkan oleh beberapa hal, yaitu masih tingginya kepercayaan bahwa roh nenek moyang selalu mengawasi keluarga dan tanahnya, tingginya wibawa ayah bagi anak-anaknya, serta tingginya penghormatan anak terhadap orang tua seperti halnya pepatah Madura “buppa’-bahbbu’, ghuru, rato” yang berarti seseorang harus menghormati orang tuanya, guru/kiai/wali, dan ratu/pemimpin.
Melihat analisa teori perubahan sosial yang diutarakan oleh Agus Salim (2002), maka arti tanah bagi masyarakat Madura pada umumnya yang telah dijelaskan barusan tidak menutup kemungkinan akan terjadinya perubahan makna seiring perkembangan waktu dan zaman. Agus Salim, (2002: ix) mengatakan bahwasanya perubahan sosial juga diakibatkan oleh terjadinya eskalasi perubahan alam, biologis, dan fisik yang terjadi sepanjang perjalanan manusia.

Proses Pembebasan Tanah untuk Pembangunan Tiang Pancang Jembatan Suramadu
Pembebasan lahan untuk pembangunan Jembatan Suramadu telah menjadi titik balik munculnya beberapa permasalahan, salah satunya ialah mengenai tanah, baik itu harganya maupun kedudukan tanah tersebut di hati masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan adanya isu-isu ketakutan serta masalah protes harga tanah yang terjadi di tengah masyarakat Sukolilo Barat.
Proses pembebasan lahan untuk pembangunan tiang pancang Jembatan Suramadu bagi teori perubahan sosial merupakan proses terjadinya eskalasi alam fisik. Penduduk yang semula mendiami lokasi desa yang tenang dan jauh dari keramaian terpaksa akan menghadapi kondisi yang berbeda nantinya setelah jembatan tersebut selesai dibangun.
Saat proses pembangunan tiang pancang, perubahan pandangan hidup warga sudah terlihat. Animo mereka yang meminta harga tanah yang tinggi merupakan pertanda bahwa mereka telah memandang tanah sebagai komoditas penghasil keuntungan. Mereka bukannya menolak pembebasan, namun mereka berkonsentrasi kepada usaha mereka untuk menuntut harga tanah yang sangat tinggi, padahal menurut Bapak H. Sanusi harga tanah yang diberikan pemerintah saat itu sudah sangat cukup sebagai ganti rugi warga. Sejak Jembatan Suramdu difungsikan, maka arus-arus perubahan sosial semakin kentara. Rencana industrialisasi serta pembabasan lahan untuk industrialisasi semakin membuat warga tertarik dengan harga tanah yang ditawarkan.

Rencana Industrialisasi dan Program Pembebasan Lahan di Desa Sukolilo Barat
Rencana industrialisasi memang tidak sepaket dengan Jembatan Suramadu, namun hal tersebut tidak akan menutup kemungkinan jika setelah Suramadu selesai maka investor-investor dari luar akan masuk ke Madura. Hal inilah yang akan menjadi problem, terlebih jika industri masuk sebelum masyarakat sekitar Suramadu belum siap menghadapinya.
Hal inilah yang sebenarnya dikhawatirkan. Pembangunan Jembatan Suramadu akan berdampak sosial baik secara langsung atau tak langsung bagi masyarakat Desa Sukolilo Barat khususnya. Bagi teori perubahan sosial, dampak yang ditimbulkan dari eskalasi alam fisik berupa infrastruktur jembatan ini akan menjadi problem jika perubahan sosial tidak dibarengi dengan kesiapan warga.
Pembangunan, jika tidak dibarengi kesiapan, perubahan sosial yang dibawa dari pembangunan Jembatan Suramadu akan menimbulkan munculnya pertikaian budaya antara budaya lama dengan budaya yang baru. Budaya lama yang diyakini oleh masyarakat lama kelamaan akan tergerus oleh budaya luar yang masuk dari jembatan tersebut, atau dalam keadaan tertentu akan menimbulkan konflik antara individu yang masih mempercayai budaya lama dengan budaya yang baru.
Perubahan sosial dapat mengubah pandangan masyarakat terhadap budaya atau tradisi leluhur yang sebelumnya dipegang teguh. Jika dianalisa dengan teori konflik, kepatuhan masyarakat kepada budaya leluhur merupakan keterpaksaan mereka, sehingga setelah terjadinya perubahan makna tanah karena faktor-faktor ekonomi, pandangan mereka terhadap budaya-budaya leluhurnya secara otomatis akan berubah. Hal ini diakibatkan karena faktor internal dari mereka yang memang terpaksa dengan didukung oleh faktor eksternal berupa faktor ekonomi.
Rencana industrialisasi, bagi Pak H. Sanusi memang sempat terdengar kabarnya, hal ini senada dengan Pak Nasir Rifa’ie yang menjabat sebagai sekdes, berpendapat bahwa ada rencana industrialisasi di Desa Sukolilo, akan tetapi yang berjalan sekarang hanyalah proses pembebasan lahannya saja. Sedangkan Sdr. Imron dan Sdr. Hadori tidak tahu menahu tentang rencana industri atau pembangunan yang ada di Desa Sukolilo Barat, mereka berdua hanya bisa mengatakan bahwa rencana untuk industrialisasi memang ada, namun yang paling santer terdengar ialah bahwa Desa Sukolilo Barat akan dijadikan desa wisata. Menurut pengakuan Bapak H. Sanusi, setidaknya ada kurang lebih 60% seluruh tanah di Desa Sukolilo Barat telah dibebaskan untuk kepentingan pembangunan.
Proses industrialisasi tentunya memerlukan program pembebasan lahan. Sedangkan proses pembebasan lahan masih terjadi hingga saat ini. Dengan adanya program pembebasan lahan untuk pengembangan industrialisasi ini membuat tanah warga berniali tinggi. Tingginya harga tanah rupanya membuat masyarakat cukup tergiur untuk menawarkan tanahnya. Pak H. Sanusi mengatakan bahwa ada salah satu warga yang berharap sekali tanahnya dibebaskan.

Melonjaknya Nilai Tanah Mengakibatkan Berubahnya Orientasi Masyarakat Terhadap Tanah
Melihat adanya jembatan Suramadu, Desa Sukolilo Barat yang pada awalnya hanyalah desa yang jauh dari pusat kota dan tak pernah dilirik, kini menjadi lokasi yang sangat strategis karena letaknya yang tepat berada di pintu masuk Jembatan Suramadu. Hal inilah yang membuat Desa tersebut banyak diminati para investor besar maupun kecil. Disamping itu semua, letaknya yang strategis bagi investor membuat harga tanah yang awalnya sangat murah, kini melambung tinggi.
Agus Salim, (2002: 152) mengatakan bahwa orang modern telah mulai menilai bahwa tradisi nenek moyang ada kalanya ditinggalkan tergantung kepada tingkat kebutuhan yang dirasakan. Tanah warisan yang sebelumnya memiliki nilai budaya yang kuat bagi masyarakat telah berubah. Masyarakat yang memandang dan memaknai tanah sebagai harta warisan dari orang tua yang harus dipertahankan dan dilestarikan kini dipandang sebagai komoditas pencari keuntungan saja.
Munculnya fenomena ini rupanya berdampak pada perubahan harga tanah yang semakin tinggi dan membawa dampak ekonomi yang tinggi bagi masyarakat Desa Sukolilo Barat. Masyarakat merasa senang dengan kejadian ini. Mereka kemudian mulai berminat untuk menjual tanah-tanahnya yang kurang produktif kepada investor maupun perorangan. Melihat mulai meningkatnya penawaran warga terhadap tanah, maka banyak pula spekulan dan calo tanah bermunculan.
Berubahnya harga dan nilai tanah ini diiringi oleh berubahnya pandangan warga terhadap tanah. Semula warga tidak begitu menghiraukan tanah, mereka cenderung mempertahankan produktivitas tanah yang pas-pasan dan hasilnya kurang menguntungkan. Namun sejak adanya program pembebasan lahan serta faktor-faktor lokasi dan sebagainya, kini harga tanah di Desa Sukolilo Barat dinilai cukup tinggi. Hal tersebut membuat warga melirik tanah sebagai komoditas yang sangat berharga. Mereka sadar betul bahwa hal yang mereka anggap dulu kurang bernilai, kini bernilai tinggi.
Mereka yang awalnya sangat menggantungkan keuntungannya pada hasil panen, kini mereka berhenti untuk berladang. Mereka lebih tertarik untuk menjual tanah tegalnya, yang mana hasil dari penjualan tersebut digunakan untuk membangun rumah atau investasi di Surabaya.
Perubahan mengenai pandangan masyarakat terhadap tanah rupanya menyebabkan munculnya konflik-konflik kepentingan, kepentingan tersebut yakni mencari keuntungan dari penjualan tanah tersebut. Jika dikaitkan dengan teori konflik Ralph Dahrendorf, pandangan masyarakat yang melihat tanah warisan dari segi nilai ekonomisnya saja menimbulkan hasrat masyarakat untuk menguasai tanah warisan sebanyak-banyaknya.
Perubahan pandangan masyarakat terhadap tanah secara tak langsung membuka celah-celah konflik. Posisi mereka yang memegang otoritas memancing mereka untuk sebanyak-banyaknya menguasai tanah warisan orang tuanya dari para adik-adik atau saudaranya. Sehingga orang-orang yang berada di posisi subordinat akan merasa dirugikan atas tindankan pemegang otoritas, hingga pada akhirnya keduanya akan terlibat konflik. Pemegang otoritas akan berusaha mempertahankan dan menaikkan posisinya, sedangkan bagi posisi subordinat akan berusaha untuk memperoleh posisi otoritas. Hal ini sesuai dengan pernyataan Dahrendorf bahwa orang-orang yang mempertahankan posisi otoritas dan orang-orang yang memegang posisi subordinasi mempertahankan kepentingan-kepentingan tertentu yang “bertentangan dari segi substansi dan arah” (Ritzer, 2012: 453).

Penyebab Munculnya Konflik/Sengketa Tanah Warisan
Ada asap, tentu pula ada api. Begitulah pepatah mengatakan bahwa bagaimanapun permasalahan pastilah ada penyebabnya. Konflik dalam pandangan teori konflik merupakan hal yang tak terelakkan dalam kehidupan sosial.
Ketidakjelasan kepemilikan tanah warisan. Ketidakjelasan kepemilikan lahan disini tidaklah lain diakibatkan oleh Minimnya pengetahuan warga terhadap pentingnya pengurusan kepemilikan lahan. Serta rasa percaya warga saat menitipkan surat tanahnya kepada orang lain tanpa surat-surat perjanjian.
Rasa percaya orang tua terhadap anak tertua dalam mengurus pembagian tanah warisan. Artinya, orang tua dalam mewariskan tanahnya kepada anak-anaknya biasanya melalui anak laki-laki atau anak tertuanya baik diketahui ataupun tanpa diketahui oleh anak-anaknya yang lain, selanjutnya anak tersebut bertugas untuk membagikan amanah dari orang tuanya.
Rasa percaya orang tua terhadap anggota keluarga lainnya atau kepada warga lain. Rasa saling percaya ini tentunya merupakan salah satu dari karakteristik masyarakat pedesaan. Namun dalam perkembangannya, rasa percaya warga yang menitipkan kepemilikan tanahnya yang masih Petok D disalahgunakan oleh pihak yang dipercaya untuk memegang tanah tersebut sementara. Jika dianalisa, kejadian ini senada dengan perubahan sosial yang membawa pengaruh kepada sistem kekeluargaan, hal ini diakibatkan oleh tarikan kebutuhan ekonomi, menipisnya peluang usaha serta keterbatasan sumber daya yang dimiliki (Salim, 2002: 152). Sehingga memunculkan niat buruk untuk menguasai atau merebut aset-aset (tanah) keluarga atau orang lain.
Munculnya keinginan mendapatkan keuntungan dari menjual tanah. Sejak nilai tanah di Desa Sukolilo Barat naik, masyarakat mulai tertarik untuk menjual tanah-tanahnya demi memperoleh keuntungan.
Kecenderungan ini merupakan hal yang diakibatkan oleh faktor-faktor ekonomi. Namun jika dianalisa secara sosiologi perubahan sosial, maka hal ini terdapat kecocokan dengan pola-pola perubahan sosial yang menghasilkan pandangan dan perhatian masyarakat mengenai masa lampau dan masa depan yang berbeda dari sebelum terjadi perubahan sosial. Orang modern telah mulai menilai bahwa tradisi nenek moyang ada kalanya dapat ditinggalkan tergantung kepada tingkat kebutuhan yang dirasakan (Salim, 2002: 152).

Macam-macam Konflik/Sengketa Tanah Warisan di Desa Sukolilo Barat
            Konflik tanah yang terjadi di Desa Sukolilo Barat, menurut Pak H. Sanusi paling banyak terjadi ialah konflik tanah antara saudara tertua dengan saudara lainnya (adik-adiknya). Pak H. Sanusi tidak begitu hafal berapa kali konflik seperti ini terjadi, namun beliau menerka-nerka bahwa ada setidaknya paling sedikit sekitar 5 keluarga yang mengalaminya. Konflik ini sebenarnya dipicu oleh sikap anak tertua yang merasa kurang terhadap jumlah tanah yang diberikan oleh orang tua kepadanya.
Pertikaian yang terjadi tidak hanya itu, ada pula konflik yang disebabkan karena sikap keluarga lain yang mengubah nama kepemilikan tanah secara sepihak. Konflik kali ini terjadi antar keluarga jauh yang masih mempunyai kerabat keluarga. Semakin tipisnya masyarakat dalam mengemban amanah dikarenakan perubahan cara pandang masyarakat terhadap tanah, karena nilai jual tanah yang tinggi mampu menggeser kedudukan sakral tanah di hati masyarakat. Sehingga benar jika Salim, (2002) mengatakan bahwa seiring terjadinya perubahan yang menjurus kepada industrialisasi membuat orang-orang modern sudah tidak lagi menghormati budaya dan nilai-nilai leluhurnya.
Konflik lainnya yang sempat terjadi hampir sama dengan kasus di nomor satu. Akan tetapi konflik yang satu ini berbeda dengan konflik sebelumnya. Konflik antar saudara ini dialami oleh salah satu santri dari Bapak H. Sanusi. Santri beliau ini merupakan satu-satunya anak lelaki di keluarganya, sedangkan saudara lainnya yang lebih tua maupun lebih muda adalah perempuan. Sebelum dibangunnya Jembatan Suramadu, suatu hari sang ayah meninggalkan tanah warisan kepada anak-anaknya. Karena sang ayah yang sudah tua dan telah meninggal, sang ayah dan keluarga lainnya sepakat untuk memberikan tanggung jawab sang anak lelaki satu-satunya untuk membagi tanah, sehingga seluruh tanah yang telah dibagi tersebut diatasnamakan anak lelaki tersebut. Hingga suatu saat sang anak lelaki ini tergiur dengan harga tanah yang naik, dan sang anak ini mendengar perihal program pembebasan lahan untuk industri, rest area dan pariwisata dari sang guru yaitu Pak H. Sanusi sendiri. Sang anak lelaki yang mengemban tugas tersebut ternyata akan menjual seluruh tanah warisannya dan saudara perempuannya. Hal inilah yang membuat konflik pecah dalam keluarganya hingga sekarang.

PENUTUP
Dalam penelitian kualitatif yang berjudul Kajian Sosio-historis Dampak Program Pembebasan Lahan Terhadap Munculnya  Sengketa Tanah Warisan Antar Anggota Keluarga di Desa Sukolilo Barat telah menghasilkan suatu temuan menarik yang telah diuraikan secara panjang pada bab pembahasan.
Perubahan sosial memang akan menghinggapi berbagai masyarakat, tidak terkecuali masyarakat Desa Sukolilo Barat. Perubahan yang dialami oleh masyarakat ini yaitu perubahan orientasi masyarakat terhadap tanah. Awalnya masyarakat menganggap tanah warisan adalah sesuatu hal yang sifatnya sakral dan perlu untuk dilindungi. Namun sayangnya hal tersebut tertepis oleh pandangan masyarakat yang sudah memandang tanah dari segi bisnisnya saja akhirnya hal inilah yang menimbulkan konflik antar anggota keluarga yang berebut tanah.
Maka dari itulah alangkah baiknya jika nilai-nilai budaya yang diwariskan leluhur tetap terus dijaga meskipun godaan perubahan sosial yang terjadi di luar sana sangat gencar. Perubahan sosial budaya haruslah tetap berpegang teguh pada kearifan lokal yang pada faktanya lebih mengutamakan kehidupan yang harmonis ketimbang perubahan tanpa kendali yang menjerumuskan masyarakat kepada permasalahan-permasalahan yang seharusnya tidak perlu terjadi.

DAFTAR PUSTAKA
Muthmainnah. 1998. Jembatan Suramadu. Yogyakarta: LKPSM.
Parker, S.R. 1992. Sosiologi Industri. Jakarta: Rineka Cipta.
Pruitt, Dean G. dan Rubin, Jeffrey Z. 2009. Teori Konflik Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
--------------------. 2012. Teori Sosiologi. Terjemah: Saut Pasaribu dkk. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Salim, Agus. 2002. Perubahan Sosial. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya.
Soekanto, Soerjono, dan Lestarini, Ratih. 1968. Fungsionalisme dan Teori Konflik dalam Perkembangan Sosiologi. Jakarta: Sinar Grafika.
Subaharianto, Andang, dkk.  2004. Tantangan Industrialisasi Madura. Malang: Bayumedia Publishing.
Wiyata, A. Latief. 2006. Carok. Yogyakarta: LKiS Yogyakarta
--------------------. 2013. Mencari Madura. Jakarta: Bidik-Phronesis Publishing.
Yuliati, Yayuk, dan Purnomo, Mangku. 2003. Sosiologi Pedesaan. Yogyakarta: Lappera Pustaka Utama.

Sumber lainnya:

Abiyasa, Muhammad Ardhias. 2010. Penyelesaian Sengketa Diluar Pengadilan Berbasis Adat Istiadat dan Budaya Setempat. (penelitian tidak berpublikasi/skripsi). Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo Madura.
Imama, Nur. 2010. Eksistensi Pembangunan Jembatan Suramadu Pada Kondisi Sosial Dan Kondisi Ekonomi Masyarakat Di Desa Sukolilo Barat Kecamatan Labang Kabupaten Bangkalan. (penelitian tidak berpublikasi/skripsi). Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim.
0 Komentar di Blogger
Silahkan Berkomentar Melalui Akun Facebook Anda
Silahkan Tinggalkan Komentar Anda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berkomentar dengan baik. Bagi komentator anonim harap memberikan nama/nickname sebelum isi komentar. Terima kasih :)