Berikut adalah jurnal hasil penelitian (skripsi) saya yang berjudul "PERGESERAN MAKNA TANAH WARISAN AKIBAT PROGRAM PEMBEBASAN LAHAN BAGI MASYARAKAT DESA SUKOLILO BARAT KECAMATAN LABANG BANGKALAN"
Semoga informasi dari penelitian ini dapat menambah pengetahuan pembaca sekalian.
_____________________________________
WAHYU QADARILLAH
Di bawah bimbingan pembimbing utama
Arie Wahyu P., S.Pi., M.Sos
Pembimbing
kedua Aminah Dewi R., S.Sos., M.Si
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
Abstract
Construction
of a bridge linking Surabaya with Madura Island (Suramadu) will automatically
bring forth positive and negative impacts to the community and society at large
Madura Sukolilo Village West in particular. Construction of this mega project
would require a land acquisition program, and the next, industrialization will
be traveling after Suramadu stood firm. The process of land acquisition which
is the first stage of development and industrialization bridge afterwards.
The
land acquisition program seems to be the first trip the process of social
change in the village of West Sukolilo visible. Be interesting if it turns out
that the land acquisition impact on land prices so quickly make the public view
on the ground is changing. Soil that has a strong cultural value to the
community Madura will eventually eroded by economic value. While the economic
value of these cultural values that lead to soil degradation to society
Sukolilo Village West.
This
study uses qualitative research, namely by trying to describe and explain the
process as well as the impact of the shifting meaning of the land for the
village of West Sukolilo.
This
study describes in detail and try to explain how the process of shifting ground
of meaning that occurs in the midst of society. The meaning and value of
cultural heritage lands which initially has a position and the position of very
valuable to society now is like just a mere economic commodities. Inherited
land which was originally meant trust, confidence, and present a unifying
kinship only thing that should be contested, so they are a cause of discord,
conflict / dispute, the rise of consumer culture, and the estate no longer be a
valuable thing in the cultural sphere.
Keywords:
Heritage Land Conflict
PENDAHULUAN
Tanah/lahan merupakan
tempat berkumpulnya hampir seluruh aktivitas manusia. Di atas tanah pula
manusia mencari nafkah, membangun, bercocok tanam, bertempat tinggal, dan
berinteraksi dengan sesamanya. Maka dari itulah tanah merupakan aspek paling
terpenting dalam tumpuan aktivitas manusia, di samping sebagai pijakan segala
aktivitas manusia tanah juga merupakan aset paling berharga dalam berinvestasi,
apa lagi jika tanah tersebut dinilai strategis dan subur, membuat nilai tanah
semakin tinggi.
Jika dinilai dari sisi
ekonomis, tanah merupakan aset yang berharga, namun jika dinilai dari sisi
budaya, makna dari sekapling tanah dapat mempunyai arti banyak. Di samping
sebagai faktor produksi yang berguna sebagai sumber nafkah, tanah juga memegang
peranan penting sebagai sumber kekuasaan, jaminan keamanan, dan tempat untuk
melestarikan dan mengembangkan sistem sosial budaya (Muthmainnah, 1998: 148).
Tanah juga dinilai sangat berharga bagi keluarga-keluarga yang menilai tanah
bukan hanya dari sisi ekonomis, melainkan dari sisi kehormatan dalam menjaga
warisan, amanah, dan peninggalan dari orang tua yang sudah sepantasnya untuk
dipertahankan keberadaannya.
Tanah juga sama seperti
aset produksi lainnya, yaitu mempunyai
nilai jual yang bergantung pada kualitasnya, seperti letaknya yang strategis
atau kualitas produktivitas tanah dalam hasil-hasil pertanian. Harga jual
sebidang tanah kita ketahui bergantung kepada letak dan kualitas produktivitas
tanah, sedangkan kedua hal ini dapat berubah-ubah sesuai dengan kondisi saat
itu juga. Misalnya, sebidang tanah yang dahulunya tidak berharga mahal karena
tanahnya tidak produktif akan sangat berharga mahal jika wilayah tersebut akan
dijadikan lahan industri, karena hal ini akan membuat para investor
berlomba-lomba membeli lahan tanah tersebut, sedangkan keadaan ini akan
dimanfaatkan oleh pemilik tanah untuk menjual tanahnya dengan harga tinggi.
Melihat kenyataan
tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa keadaan tersebut merupakan gejala
perubahan orientasi terhadap tanah. Pada awalnya masyarakat tertentu tidak
begitu memedulikan keberadaan tanahnya, namun sejak terjadinya perubahan
terhadap nilai tanah itu sendiri maka masyarakat tersebut akan mengubah cara
pandangnya terhadap tanah. Mereka cenderung akan menjual tanah tersebut dengan
maksud untuk memperoleh keuntungan yang besar, bahkan tak jarang yang
sebelumnya antar warga/keluarga tidak terdapat persengketaan (perebutan) hak
atas tanah namun kini mereka berbondong-bondong untuk bersaing memperoleh hak
atas tanah untuk dijual mahal dengan tujuan mendapat keuntungan yang besar.
Tanah bagi orang Madura
sangat penting keberadaannya. Tanah, apalagi tanah warisan orang tua, merupakan
amanah yang harus dijaga dan dipertahankan dan diteruskan kepada anak cucunya.
Tanah sangatlah erat kaitannya dengan budaya masyarakat Madura. Dalam budaya
Madura, tanah sangatlah erat kaitannya dengan leluhur, makam, dan kekerabatan
yang kuat.
Masyarakat Madura
termasuk masyarakat yang sangat menghargai tanah, bahkan di antaranya ada yang
rela membela tanahnya dengan segenap nyawanya bahkan di antaranya dengan
tradisi carok. Hal ini senada dengan pepatah Jawa lama “Sedumuk bathuk senyari
bumi, ditohi pecahing dhadha lan wutahing ludira” yang bermakna seseorang akan
membela tanahnya meskipun harus taruhan nyawa.
Sengketa tanah antar
anggota keluarga yang terjadi di Desa
Sukolilo Barat cenderung didalangi oleh perasaan dirugikan atas tidak meratanya
pembagian uang ganti rugi. Secara kasat mata memang sengketa yang terjadi timbul
dari sisi ekonomis, namun untuk menyimpulkan ini semua perlu dilakukan sebuah
penelitian untuk mengkaji penyebab perubahan orientasi/pandangan masyarakat
terhadap tanah, mengingat arti dan makna tanah bagi orang Madura sangatlah
tinggi. Selain sebagai sarana mencari nafkah, tanah lebih jauh lagi bagi orang
Madura merupakan sebuah peninggalan/warisan orang tua/nenek moyang yang perlu
sekali untuk dijaga keberadaannya.
TUJUAN
PENELITIAN
Adapun tujuan dari
penelitian ini ialah Untuk mengetahui proses pergeseran makna tanah warisan
yang diakibatkan oleh program pembebasan lahan di tengah-tengah masyarakat Desa
Sukolilo Barat.
KERANGKA
TEORI
Teori
Perubahan Sosial
Agus Salim, (2002: ix)
perubahan sosial adalah proses, meliputi bentuk keseluruhan dari aspek
kehidupan masyarakat. Beliau juga mengatakan bahwa perubahan sosial adalah
suatu bentuk peradaban umat manusia akibat adanya eskalasi perubahan alam,
biologis, fisik yang terjadi sepanjang kehidupan manusia.
Mengingat sifat
masyarakat yang dinamis, sangat memungkinkan jika perubahan sosial akan selalu
ada dalam masyarakat. Perubahan sosial dalam masyarakat desa yang diakibatkan
oleh industrialisasi atau pembangunan infrastruktur rupanya banyak memberi
perubahan yang signifikan.
Pola-pola perubahan
dalam masyarakat dapat dilihat dari beberapa aspek, seperti perilaku kerja dan
hubungan manusia. Hubungan perburuhan dalam industri akan mengubah pola
perilaku manusia dalam hubungan kerja yang dibentuknya. Hubungan manusia akan
mengalami perubahan, sesuai dengan pergeseran penghargaan manusia terhadap
konsep waktu, nilai kerja, masa depan, keluarga, dll
Pola-pola hubungan dari
tempat tinggal dan pandangan hidup masyarakat, berpengaruh kepada perhatian
masyarakat terhadap kehidupan masa lalu dan harapan mereka di masa depan. Orang
modern telah mulai menilai bahwa tradisi nenek moyang ada kalanya dapat
ditinggalkan tergantung kepada tingkat kebutuhan yang dirasakan. Dalam mencari
tempat tinggal mereka tidak lagi memperhatikan adanya batas-batas tempat
leluhur yang berupa makam, bekas tempat bermukim dan tempat beribadah nenek
moyangnya, mereka akan mengembangkan diri lebih rasional terutama dalam memilih
tempat bermukim bagi keluarganya (Material assistance to clan members). Perhatian
yang kuat terhadap pendidikan bagi generasi muda secara terbuka, tidak hanya
berpikir untuk hari ini tetapi juga untuk jangka panjang anak-anak
keturunannya.
Selain itu, perubahan
sosial juga memberi kontribusi perubahan kepada sistem kekeluargaan dan
hubungan keluarga. Yakni semakin kuatnya hubungan keluarga inti, dan melemahnya
keluarga batih. Hal ini terjadi akibat tarikan kebutuhan ekonomi, menipisnya
peluang usaha, serta keterbatasan sumber daya yang dimiliki oleh institusi
keluarga modern terutama dibanyak keluarga besar. Selain itu pula, Relasi
hubungan orang tua dengan anak mengalami perubahan yang radikal, menyebabkan
tanggung jawab, nilai, perilaku ekonomi mengalami pergeseran. Rasa hormat anak
kepada orang tua, pola asuh orang tua mengalami perubahan yang cukup mendasar,
karena tidak lagi tergantung kepada nilai-nilai hubungan aspectasi tetapi
kepada aspek kehidupan material. Akibat sosio-psikologi dari perubahan dalam
pola hubungan kekeluargaan, dengan semakin ter-alinasi dan terisolasinya
keluarga inti. Keluarga ‘dipenjarakan’ oleh norma konsumsi, dan nilai material,
yang memiliki relevansi kuat dalam kehidupan yang dihadapi.
Teori
Konflik
Kehidupan masyarakat
tidak akan luput dari konflik, seringkali dalam tubuh masyarakat konflik tak
dapat terelakkan. Hal ini dikarenakan banyak sekali individu-individu atau
lembaga-lembaga masyarakat antara yang satu dengan lainnya memiliki kepentingan
yang berbeda, sehingga perbedaan kepentingan ini akan menyebabkan benturan
politik yang mengarah kepada persaingan. Hal ini senada dengan Simmel dalam
Soekanto (2002: 69), bahwa konflik tidak terelakkan dalam masyarakat.
Masyarakat dipandangnya sebagai struktur sosial yang mencakup proses-proses
asosiatif dan disosiatif yang hanya dapat dibedakan secara analitis.”
Pada awal mula
munculnya teori konflik dialektis, pandangan-pandangan teori struktural
fungsional mendapat keraguan dari para sosiolog hingga pada akhirnya
menciptakan alternatif lain dari teori fungsional atas dasar asumsi-asumsi
(Soekanto, 2002: 68). Asumsi tersebut mengatakan bahwa, walaupun
hubungan-hubungan sosial memperlihatkan adanya ciri-ciri suatu sistem, akan
tetapi dalam hubungan-hubungan itu terdapat benih-benih konflik kepentingan. Fakta
itu menunjukkan bahwa suatu sistem memungkinkan menimbulkan konflik. Dengan
demikian, maka konflik merupakan suatu gejala yang ada dalam setiap sistem
sosial.
Konflik demikian
cenderung terwujud dalam opsisi bipoler dari kepentingan-kepentingan. Konflik
sangat mungkin terjadi terhadap distribusi sumber-sumber daya yang terbatas dan
kekuasaan. Konflik merupakan suatu sumber terjadinya perubahan pada
sistem-sistem sosial.
Distribusi kekuasaan
dan wewenang secara tidak merata tanpa kecuali menjadi faktor yang menentukan
konflik sosial secara sistematis (Ritzer, 2003: 26). Hal ini selaras dengan
kasus sengketa yang terjadi pada masyarakat desa Sukolilo Barat. Distribusi
hasil penjualan tanah yang tidak merata antar anggota keluarga menjadi penyebab
munculnya konflik/sengketa tanah antar anggota keluarga.
Menurut Ralph
Dahrendorf, Pertentangan dan konflik yang terjadi antara pihak yang berseteru
merupakan sebuah keniscayaan. Karena pertentangan tersebut terjadi dalam
situasi di mana pihak yang berkuasa berusaha untuk memperoleh keuntungan lebih
besar (status quo) dari pihak yang dikuasai, sehingga hal tersebut membuat
pihak yang dikuasai (yang merasa dirugikan) akan berusaha untuk melakukan
perlawanan atas ketertindasannya.
Hal ini menyiratkan
bahwa di setiap asosiasi pasti terdapat konflik-konflik kepentingan.
Orang-orang atau kelompok yang berada di dalam posisi yang dominan dan menguntungkan
(superordinat) akan selalu mempertahankan status quo selama mungkin, sedangkan
bagi individu-individu atau kelompok yang berada di dalam posisi subordinat
(kurang beruntung) akan mengusahakan perubahan yang positif bagi posisinya.
Dalam usaha keduanya untuk mempertahankan status quo (bagi superordinat) dan
untuk mengusahakan perubahan (bagi subordinat) sering kali terbentur oleh
kepentingan yang berlawanan, sehingga tak jarang jika keduanya akan terlibat
konflik.
Seorang tokoh
sosiologi, Ralph Dahrendorf menyimpulkan bahwa terdapat dua golongan/kelompok
yang terlibat konflik. Kelompok pertama ialah kelompok semu (quasi group) dan
kelompok kedua ialah kelompok kepentingan (interest group). Kelompok semu ialah
kumpulan dari para pemegang kekuasaan/jabatan yang mana kelompok semu ini
merupakan bagian kecil dari kelompok kepentingan. Artinya, kelompok semu
merupakan bagian dari kelompok kepentingan yang beruntung mendapat
kekuasaan/jabatan. Sedangkan kelompok kepentingan merupakan kelompok yang tersisa,
artinya kelompok ini merupakan kumpulan dari anggota yang tidak mendapat
kekuasaan/jabatan seperti kelompok semu. Misalkan, dalam satu organisasi yang
beranggotakan ratusan orang, hanya beberapa orang saja yang mendapat
jabatan/kekuasaan yang menguntungkan di pemerintahan (misalnya), kelompok ini
merupakan kelompok semu. Sedangkan anggota yang tidak mendapat
kekuasaan/jabatan yang menguntungkan merupakan kelompok kepentingan. Bagi
Dahrendorf, kelompok kepentinganlah yang menjadi sumber utama munculnya konflik
karena distribusi kekuasaan, wewenang, bahkan keuntungan yang tidak merata.
Jika kita
menganalogikan pemikiran dari tokoh sosiolog Ralph Dahrendorf dengan kasus yang
terjadi di desa Sukolilo Barat, maka kelompok kepentingan ialah seluruh anggota
keluarga, sedangkan beberapa anggota keluarga (tertua) yang memiliki posisi
yang tinggi merupakan kelompok semu. Anggota keluarga tertua yang mempunyai
kekuasaan lebih daripada lainnya mencoba untuk menjual semua tanah warisan
keluarga untuk keuntungannya, sedangkan hal ini disadari merupakan kondisi yang
merugikan bagi kelompok kepentingan sehingga kelompok kepentingan melakukan
aksi protes kepada kelompok semu atas tidak meratanya distribusi kekuasaan dan
keuntungan, maka persengketaan tanah pun terjadi antar anggota keluarga.
METODE
PENELITIAN
Penelitian
ini menggunakan penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologis. Penelitian
ini dilakukan dengan maksud untuk mengetahui bagaimana proses pergeseran makna
tanah warisan akibat program pembebasan lahan bagi masyarakat Desa Sukolilo
Barat.
Penelitian
ini didasarkan pada dua kelompok sumber data, yakni data sekunder dan data
primer. Sumber data primer adalah sumber data yang langsung memberikan data
kepada pengumpul data (Sugiyono, 2008: 225). Sumber data primer didapatkan dari
tokoh masyarakat, yakni Bapak H. Sanusi Ahmad dan Pemerintah Desa yakni Bapak
Nasir Rifa’ie.
Sumber
data sekunder merupakan data pelengkap disamping data primer. Informan data
sekunder ialah masyarakat Desa Sukolilo Barat yang diwakili oleh Sdr. Imron dan
Sdr. Hadori. Karena keduanya merupakan warga yang paling merasakan dampak dari
pembebasan lahan.
Metode
Pengumpulan Data
Penelitian ini
menggunakan wawancara, yang akan dilakukan dengan menggunakan pedoman
wawancara. Pedoman wawancara digunakan untuk mengingatkan interviewer mengenai
aspek-aspek apa yang harus dibahas.
Disamping wawancara
mendalam, untuk mendapatkan data penunjang (sekunder) penelitian ini juga melakukan
metode observasi. Observasi juga dibutuhkan dengan tujuan untuk mengetahui
situasi, kondisi, dan kejadian sebenarnya, agar data wawancara dapat terjamin
keabsahannya jika dibandingkan dengan kondisi sebenarnya dalam proses
observasi.
Metode
Analisis Data
Data yang terkumpul
(apapun sumber, metode dan alat pengumpulannya) selanjutnya perlu diolah dan
dianalisis untuk menjawab masalah penelitian. Adapun analisis yang dipakai
ialah mengorganisasikan data, mengelompokkan berdasarkan kategori, mencari alternatif
penjelasan data, serta menulis hasil penelitian.
Metode
Pemeriksaan Keabsahan Data
Untuk
memeriksa keabsahan data, penelitian ini menggunakan triangulasi. Adapun
beberapa triangulasi yang dipakai ialah triangulasi pengamat, triangulasi
metode, dan triangulasi sumber
HASIL
PENELITIAN
Proses penelitian pergeseran makna tanah
akibat program pembebasan tanah bagi masyarakat Desa Sukolilo barat telah
melibatkan dua informan kunci dan dua informan tambahan. Keterangan dari kedua
informan tersebut telah menghasilkan temuan-temuan mengenai bagaimana proses
bergesernya makna tanah yang diakibatkan oleh program pembebasan lahan bagi
Masyarakat Desa Sukolilo Barat.
Makna
dan Nilai Tanah Bagi Masyarakat Madura
Kondisi tanah di Madura
jika dilihat dari segi ekonomis, pada umumnya kurang produktif, sehingga kurang
menguntungkan untuk diolah. Selain sarana irigasi masih minim, tanah di Madura
termasuk jenis tanah kapur bercampur lempung yang menyerap air (higroskopis),
serupa dengan tanah perbukitan kapur di sepanjang pantai utara pulau Jawa yang
secara geologis masih satu deretan (De Jonge, dalam Subaharianto 2004: 18).
Kondisi tanah di pulau
Madura memang tidak subur dan tidak produktif, namun meskipun demikian
masyarakat Madura memandang tanah sebagai aset dan amanah orang tua yang harus
dijaga. Bahkan orang Madura rela bertaruh nyawa demi mempertahankan tanahnya.
Hal ini seperti ini pepatah jawa yang mengatakan “Sedumuk bathuk senyari bumi,
ditohi pecahing dhadha lan wutahing ludira” yang bermakna seseorang akan
membela tanahnya meskipun harus taruhan nyawa.
Jika melihat studi dan
penelitian yang dilakukan mengenai nilai tanah bagi orang madura, Subaharianto
dkk (2004:69-84) mengelompokkan fungsi tanah menjadi tiga kategori.
Pertama, yaitu kaitan
tanah dengan leluhur. Tanah bagi orang madura mempunyai keterikatan yang erat
dengan leluhurnya, karena tanah tersebut merupakan warisan/titipan/amanah yang
diberikan orang tua kepada anak-anaknya. Sehingga anak-anaknya berkewajiban
untuk menjaga tanah warisan tersebut dan diwariskan kepada anak cucunya di
kemudian hari.
Kedua, kaitan tanah
dengan makam. Hubungan antara tanah dengan makam bagi masyarakat Madura sangat
erat kaitannya. Dalam kaitan antara tanah dengan leluhur sebelumnya disebutkan
bahwa leluhur akan terus mengawasi keluarga serta tanah yang menjadi
warisannya. Maka dalam kaitannya antara tanah dengan makam bahwa tanah keluarga
dalam beberapa keluarga tertentu dijadikan makam keluarga sendiri, hal ini
dilakukan tentunya karena alasan tertentu yaitu agar leluhur yang telah
meninggal tersebut dapat kembali menjadi tanah dan menyatu dengan tanah yang
ditinggalkannya kepada anak cucunya.
Ketiga, Kaitan tanah
dengan kekerabatan. Sistem kekerabatan masyarakat Madura dapat dilihat dari
bentuk pola pemukiman keluarga dalam satu bidang tanah yang panjang, masyarakat
Madura menyebutnya sebagai taneyan lanjang atau dalam bahasa Indonesia artinya
ialah halaman yang panjang. Jadi pola pemukiman taneyan lanjang ini berupa
susunan rumah yang berjejer dari barat ke timur yang jumlah rumahnya tergantung
pada jumlah anak perempuan dalam keluarga tersebut.
Kekerabatan yang kuat
antar anggota keluarga yang berkaitan dengan tanah warisan masyarakat Madura
juga diperlihatkan oleh sikap anggota laki-laki yang menerima begitu saja
keputusan orang tua yang tidak memberi mereka tanah pekarangan dan rumah,
sehingga mereka akan keluar dari keluarga tersebut setelah menikah. Anak
laki-laki dalam keluarga tersebut pantang sekali untuk mempeributkan masalah
harta berupa warisan tanah. Sikap kompromis mereka diduga disebabkan oleh
beberapa hal, yaitu masih tingginya kepercayaan bahwa roh nenek moyang selalu
mengawasi keluarga dan tanahnya, tingginya wibawa ayah bagi anak-anaknya, serta
tingginya penghormatan anak terhadap orang tua seperti halnya pepatah Madura
“buppa’-bahbbu’, ghuru, rato” yang berarti seseorang harus menghormati orang
tuanya, guru/kiai/wali, dan ratu/pemimpin.
Melihat analisa teori
perubahan sosial yang diutarakan oleh Agus Salim (2002), maka arti tanah bagi
masyarakat Madura pada umumnya yang telah dijelaskan barusan tidak menutup
kemungkinan akan terjadinya perubahan makna seiring perkembangan waktu dan
zaman. Agus Salim, (2002: ix) mengatakan bahwasanya perubahan sosial juga
diakibatkan oleh terjadinya eskalasi perubahan alam, biologis, dan fisik yang
terjadi sepanjang perjalanan manusia.
Proses
Pembebasan Tanah untuk Pembangunan Tiang Pancang Jembatan Suramadu
Pembebasan lahan untuk
pembangunan Jembatan Suramadu telah menjadi titik balik munculnya beberapa
permasalahan, salah satunya ialah mengenai tanah, baik itu harganya maupun
kedudukan tanah tersebut di hati masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan adanya
isu-isu ketakutan serta masalah protes harga tanah yang terjadi di tengah
masyarakat Sukolilo Barat.
Proses pembebasan lahan
untuk pembangunan tiang pancang Jembatan Suramadu bagi teori perubahan sosial
merupakan proses terjadinya eskalasi alam fisik. Penduduk yang semula mendiami
lokasi desa yang tenang dan jauh dari keramaian terpaksa akan menghadapi
kondisi yang berbeda nantinya setelah jembatan tersebut selesai dibangun.
Saat proses pembangunan
tiang pancang, perubahan pandangan hidup warga sudah terlihat. Animo mereka
yang meminta harga tanah yang tinggi merupakan pertanda bahwa mereka telah
memandang tanah sebagai komoditas penghasil keuntungan. Mereka bukannya menolak
pembebasan, namun mereka berkonsentrasi kepada usaha mereka untuk menuntut
harga tanah yang sangat tinggi, padahal menurut Bapak H. Sanusi harga tanah
yang diberikan pemerintah saat itu sudah sangat cukup sebagai ganti rugi warga.
Sejak Jembatan Suramdu difungsikan, maka arus-arus perubahan sosial semakin
kentara. Rencana industrialisasi serta pembabasan lahan untuk industrialisasi
semakin membuat warga tertarik dengan harga tanah yang ditawarkan.
Rencana
Industrialisasi dan Program Pembebasan Lahan di Desa Sukolilo Barat
Rencana industrialisasi
memang tidak sepaket dengan Jembatan Suramadu, namun hal tersebut tidak akan
menutup kemungkinan jika setelah Suramadu selesai maka investor-investor dari
luar akan masuk ke Madura. Hal inilah yang akan menjadi problem, terlebih jika
industri masuk sebelum masyarakat sekitar Suramadu belum siap menghadapinya.
Hal inilah yang
sebenarnya dikhawatirkan. Pembangunan Jembatan Suramadu akan berdampak sosial
baik secara langsung atau tak langsung bagi masyarakat Desa Sukolilo Barat
khususnya. Bagi teori perubahan sosial, dampak yang ditimbulkan dari eskalasi
alam fisik berupa infrastruktur jembatan ini akan menjadi problem jika
perubahan sosial tidak dibarengi dengan kesiapan warga.
Pembangunan, jika tidak
dibarengi kesiapan, perubahan sosial yang dibawa dari pembangunan Jembatan
Suramadu akan menimbulkan munculnya pertikaian budaya antara budaya lama dengan
budaya yang baru. Budaya lama yang diyakini oleh masyarakat lama kelamaan akan
tergerus oleh budaya luar yang masuk dari jembatan tersebut, atau dalam keadaan
tertentu akan menimbulkan konflik antara individu yang masih mempercayai budaya
lama dengan budaya yang baru.
Perubahan sosial dapat
mengubah pandangan masyarakat terhadap budaya atau tradisi leluhur yang
sebelumnya dipegang teguh. Jika dianalisa dengan teori konflik, kepatuhan
masyarakat kepada budaya leluhur merupakan keterpaksaan mereka, sehingga
setelah terjadinya perubahan makna tanah karena faktor-faktor ekonomi,
pandangan mereka terhadap budaya-budaya leluhurnya secara otomatis akan
berubah. Hal ini diakibatkan karena faktor internal dari mereka yang memang
terpaksa dengan didukung oleh faktor eksternal berupa faktor ekonomi.
Rencana
industrialisasi, bagi Pak H. Sanusi memang sempat terdengar kabarnya, hal ini
senada dengan Pak Nasir Rifa’ie yang menjabat sebagai sekdes, berpendapat bahwa
ada rencana industrialisasi di Desa Sukolilo, akan tetapi yang berjalan
sekarang hanyalah proses pembebasan lahannya saja. Sedangkan Sdr. Imron dan
Sdr. Hadori tidak tahu menahu tentang rencana industri atau pembangunan yang
ada di Desa Sukolilo Barat, mereka berdua hanya bisa mengatakan bahwa rencana
untuk industrialisasi memang ada, namun yang paling santer terdengar ialah
bahwa Desa Sukolilo Barat akan dijadikan desa wisata. Menurut pengakuan Bapak
H. Sanusi, setidaknya ada kurang lebih 60% seluruh tanah di Desa Sukolilo Barat
telah dibebaskan untuk kepentingan pembangunan.
Proses industrialisasi
tentunya memerlukan program pembebasan lahan. Sedangkan proses pembebasan lahan
masih terjadi hingga saat ini. Dengan adanya program pembebasan lahan untuk
pengembangan industrialisasi ini membuat tanah warga berniali tinggi. Tingginya
harga tanah rupanya membuat masyarakat cukup tergiur untuk menawarkan tanahnya.
Pak H. Sanusi mengatakan bahwa ada salah satu warga yang berharap sekali
tanahnya dibebaskan.
Melonjaknya
Nilai Tanah Mengakibatkan Berubahnya Orientasi Masyarakat Terhadap Tanah
Melihat adanya jembatan
Suramadu, Desa Sukolilo Barat yang pada awalnya hanyalah desa yang jauh dari
pusat kota dan tak pernah dilirik, kini menjadi lokasi yang sangat strategis
karena letaknya yang tepat berada di pintu masuk Jembatan Suramadu. Hal inilah
yang membuat Desa tersebut banyak diminati para investor besar maupun kecil.
Disamping itu semua, letaknya yang strategis bagi investor membuat harga tanah
yang awalnya sangat murah, kini melambung tinggi.
Agus Salim, (2002: 152)
mengatakan bahwa orang modern telah mulai menilai bahwa tradisi nenek moyang
ada kalanya ditinggalkan tergantung kepada tingkat kebutuhan yang dirasakan.
Tanah warisan yang sebelumnya memiliki nilai budaya yang kuat bagi masyarakat
telah berubah. Masyarakat yang memandang dan memaknai tanah sebagai harta
warisan dari orang tua yang harus dipertahankan dan dilestarikan kini dipandang
sebagai komoditas pencari keuntungan saja.
Munculnya fenomena ini
rupanya berdampak pada perubahan harga tanah yang semakin tinggi dan membawa
dampak ekonomi yang tinggi bagi masyarakat Desa Sukolilo Barat. Masyarakat
merasa senang dengan kejadian ini. Mereka kemudian mulai berminat untuk menjual
tanah-tanahnya yang kurang produktif kepada investor maupun perorangan. Melihat
mulai meningkatnya penawaran warga terhadap tanah, maka banyak pula spekulan
dan calo tanah bermunculan.
Berubahnya harga dan
nilai tanah ini diiringi oleh berubahnya pandangan warga terhadap tanah. Semula
warga tidak begitu menghiraukan tanah, mereka cenderung mempertahankan
produktivitas tanah yang pas-pasan dan hasilnya kurang menguntungkan. Namun
sejak adanya program pembebasan lahan serta faktor-faktor lokasi dan
sebagainya, kini harga tanah di Desa Sukolilo Barat dinilai cukup tinggi. Hal
tersebut membuat warga melirik tanah sebagai komoditas yang sangat berharga.
Mereka sadar betul bahwa hal yang mereka anggap dulu kurang bernilai, kini
bernilai tinggi.
Mereka yang awalnya
sangat menggantungkan keuntungannya pada hasil panen, kini mereka berhenti
untuk berladang. Mereka lebih tertarik untuk menjual tanah tegalnya, yang mana
hasil dari penjualan tersebut digunakan untuk membangun rumah atau investasi di
Surabaya.
Perubahan mengenai
pandangan masyarakat terhadap tanah rupanya menyebabkan munculnya
konflik-konflik kepentingan, kepentingan tersebut yakni mencari keuntungan dari
penjualan tanah tersebut. Jika dikaitkan dengan teori konflik Ralph Dahrendorf,
pandangan masyarakat yang melihat tanah warisan dari segi nilai ekonomisnya
saja menimbulkan hasrat masyarakat untuk menguasai tanah warisan
sebanyak-banyaknya.
Perubahan pandangan
masyarakat terhadap tanah secara tak langsung membuka celah-celah konflik.
Posisi mereka yang memegang otoritas memancing mereka untuk sebanyak-banyaknya
menguasai tanah warisan orang tuanya dari para adik-adik atau saudaranya.
Sehingga orang-orang yang berada di posisi subordinat akan merasa dirugikan
atas tindankan pemegang otoritas, hingga pada akhirnya keduanya akan terlibat
konflik. Pemegang otoritas akan berusaha mempertahankan dan menaikkan
posisinya, sedangkan bagi posisi subordinat akan berusaha untuk memperoleh
posisi otoritas. Hal ini sesuai dengan pernyataan Dahrendorf bahwa orang-orang
yang mempertahankan posisi otoritas dan orang-orang yang memegang posisi
subordinasi mempertahankan kepentingan-kepentingan tertentu yang “bertentangan
dari segi substansi dan arah” (Ritzer, 2012: 453).
Penyebab
Munculnya Konflik/Sengketa Tanah Warisan
Ada asap, tentu pula
ada api. Begitulah pepatah mengatakan bahwa bagaimanapun permasalahan pastilah
ada penyebabnya. Konflik dalam pandangan teori konflik merupakan hal yang tak
terelakkan dalam kehidupan sosial.
Ketidakjelasan
kepemilikan tanah warisan. Ketidakjelasan kepemilikan lahan disini tidaklah
lain diakibatkan oleh Minimnya pengetahuan warga terhadap pentingnya pengurusan
kepemilikan lahan. Serta rasa percaya warga saat menitipkan surat tanahnya
kepada orang lain tanpa surat-surat perjanjian.
Rasa percaya orang tua
terhadap anak tertua dalam mengurus pembagian tanah warisan. Artinya, orang tua
dalam mewariskan tanahnya kepada anak-anaknya biasanya melalui anak laki-laki
atau anak tertuanya baik diketahui ataupun tanpa diketahui oleh anak-anaknya
yang lain, selanjutnya anak tersebut bertugas untuk membagikan amanah dari
orang tuanya.
Rasa percaya orang tua
terhadap anggota keluarga lainnya atau kepada warga lain. Rasa saling percaya
ini tentunya merupakan salah satu dari karakteristik masyarakat pedesaan. Namun
dalam perkembangannya, rasa percaya warga yang menitipkan kepemilikan tanahnya
yang masih Petok D disalahgunakan oleh pihak yang dipercaya untuk memegang
tanah tersebut sementara. Jika dianalisa, kejadian ini senada dengan perubahan
sosial yang membawa pengaruh kepada sistem kekeluargaan, hal ini diakibatkan
oleh tarikan kebutuhan ekonomi, menipisnya peluang usaha serta keterbatasan sumber
daya yang dimiliki (Salim, 2002: 152). Sehingga memunculkan niat buruk untuk
menguasai atau merebut aset-aset (tanah) keluarga atau orang lain.
Munculnya keinginan
mendapatkan keuntungan dari menjual tanah. Sejak nilai tanah di Desa Sukolilo
Barat naik, masyarakat mulai tertarik untuk menjual tanah-tanahnya demi
memperoleh keuntungan.
Kecenderungan ini
merupakan hal yang diakibatkan oleh faktor-faktor ekonomi. Namun jika dianalisa
secara sosiologi perubahan sosial, maka hal ini terdapat kecocokan dengan
pola-pola perubahan sosial yang menghasilkan pandangan dan perhatian masyarakat
mengenai masa lampau dan masa depan yang berbeda dari sebelum terjadi perubahan
sosial. Orang modern telah mulai menilai bahwa tradisi nenek moyang ada kalanya
dapat ditinggalkan tergantung kepada tingkat kebutuhan yang dirasakan (Salim,
2002: 152).
Macam-macam
Konflik/Sengketa Tanah Warisan di Desa Sukolilo Barat
Konflik
tanah yang terjadi di Desa Sukolilo Barat, menurut Pak H. Sanusi paling banyak
terjadi ialah konflik tanah antara saudara tertua dengan saudara lainnya
(adik-adiknya). Pak H. Sanusi tidak begitu hafal berapa kali konflik seperti
ini terjadi, namun beliau menerka-nerka bahwa ada setidaknya paling sedikit
sekitar 5 keluarga yang mengalaminya. Konflik ini sebenarnya dipicu oleh sikap
anak tertua yang merasa kurang terhadap jumlah tanah yang diberikan oleh orang
tua kepadanya.
Pertikaian yang terjadi
tidak hanya itu, ada pula konflik yang disebabkan karena sikap keluarga lain
yang mengubah nama kepemilikan tanah secara sepihak. Konflik kali ini terjadi
antar keluarga jauh yang masih mempunyai kerabat keluarga. Semakin tipisnya
masyarakat dalam mengemban amanah dikarenakan perubahan cara pandang masyarakat
terhadap tanah, karena nilai jual tanah yang tinggi mampu menggeser kedudukan
sakral tanah di hati masyarakat. Sehingga benar jika Salim, (2002) mengatakan
bahwa seiring terjadinya perubahan yang menjurus kepada industrialisasi membuat
orang-orang modern sudah tidak lagi menghormati budaya dan nilai-nilai
leluhurnya.
Konflik lainnya yang
sempat terjadi hampir sama dengan kasus di nomor satu. Akan tetapi konflik yang
satu ini berbeda dengan konflik sebelumnya. Konflik antar saudara ini dialami
oleh salah satu santri dari Bapak H. Sanusi. Santri beliau ini merupakan
satu-satunya anak lelaki di keluarganya, sedangkan saudara lainnya yang lebih
tua maupun lebih muda adalah perempuan. Sebelum dibangunnya Jembatan Suramadu,
suatu hari sang ayah meninggalkan tanah warisan kepada anak-anaknya. Karena
sang ayah yang sudah tua dan telah meninggal, sang ayah dan keluarga lainnya
sepakat untuk memberikan tanggung jawab sang anak lelaki satu-satunya untuk
membagi tanah, sehingga seluruh tanah yang telah dibagi tersebut diatasnamakan
anak lelaki tersebut. Hingga suatu saat sang anak lelaki ini tergiur dengan
harga tanah yang naik, dan sang anak ini mendengar perihal program pembebasan
lahan untuk industri, rest area dan pariwisata dari sang guru yaitu Pak H. Sanusi
sendiri. Sang anak lelaki yang mengemban tugas tersebut ternyata akan menjual
seluruh tanah warisannya dan saudara perempuannya. Hal inilah yang membuat
konflik pecah dalam keluarganya hingga sekarang.
PENUTUP
Dalam penelitian
kualitatif yang berjudul Kajian Sosio-historis Dampak Program Pembebasan Lahan
Terhadap Munculnya Sengketa Tanah
Warisan Antar Anggota Keluarga di Desa Sukolilo Barat telah menghasilkan suatu
temuan menarik yang telah diuraikan secara panjang pada bab pembahasan.
Perubahan sosial memang
akan menghinggapi berbagai masyarakat, tidak terkecuali masyarakat Desa
Sukolilo Barat. Perubahan yang dialami oleh masyarakat ini yaitu perubahan
orientasi masyarakat terhadap tanah. Awalnya masyarakat menganggap tanah
warisan adalah sesuatu hal yang sifatnya sakral dan perlu untuk dilindungi.
Namun sayangnya hal tersebut tertepis oleh pandangan masyarakat yang sudah
memandang tanah dari segi bisnisnya saja akhirnya hal inilah yang menimbulkan
konflik antar anggota keluarga yang berebut tanah.
Maka dari itulah
alangkah baiknya jika nilai-nilai budaya yang diwariskan leluhur tetap terus
dijaga meskipun godaan perubahan sosial yang terjadi di luar sana sangat
gencar. Perubahan sosial budaya haruslah tetap berpegang teguh pada kearifan
lokal yang pada faktanya lebih mengutamakan kehidupan yang harmonis ketimbang
perubahan tanpa kendali yang menjerumuskan masyarakat kepada
permasalahan-permasalahan yang seharusnya tidak perlu terjadi.
DAFTAR
PUSTAKA
Muthmainnah. 1998. Jembatan Suramadu.
Yogyakarta: LKPSM.
Parker, S.R. 1992. Sosiologi Industri.
Jakarta: Rineka Cipta.
Pruitt, Dean G. dan Rubin, Jeffrey Z. 2009. Teori
Konflik Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
--------------------. 2012. Teori Sosiologi.
Terjemah: Saut Pasaribu dkk. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Salim, Agus. 2002. Perubahan Sosial. Yogyakarta: PT.
Tiara Wacana Yogya.
Soekanto, Soerjono, dan Lestarini, Ratih. 1968.
Fungsionalisme dan Teori Konflik dalam Perkembangan Sosiologi. Jakarta: Sinar
Grafika.
Subaharianto, Andang, dkk. 2004. Tantangan Industrialisasi Madura.
Malang: Bayumedia Publishing.
Wiyata, A. Latief. 2006. Carok. Yogyakarta: LKiS
Yogyakarta
--------------------. 2013. Mencari Madura. Jakarta:
Bidik-Phronesis Publishing.
Yuliati, Yayuk, dan Purnomo, Mangku. 2003. Sosiologi
Pedesaan. Yogyakarta: Lappera Pustaka Utama.
Sumber lainnya:
Abiyasa, Muhammad Ardhias. 2010. Penyelesaian
Sengketa Diluar Pengadilan Berbasis Adat Istiadat dan Budaya Setempat.
(penelitian tidak berpublikasi/skripsi). Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo
Madura.
Imama, Nur. 2010.
Eksistensi Pembangunan Jembatan Suramadu Pada Kondisi Sosial Dan Kondisi
Ekonomi Masyarakat Di Desa Sukolilo Barat Kecamatan Labang Kabupaten Bangkalan.
(penelitian tidak berpublikasi/skripsi). Fakultas Tarbiyah Universitas Islam
Negeri Maulana Malik Ibrahim.